Inisiatif Energi Terbarukan di Tingkat Daerah

Peralihan dari sumber energi konvensional ke energi terbarukan atau transisi energi merupakan salah satu langkah utama dalam mitigasi gas rumah kaca untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Berdasarkan laporan inventarisasi gas rumah kaca (GRK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sejak tahun 2020, emisi sektor energi telah melampaui sektor hutan dan lahan yang menjadi penyumbang emisi GRK terbesar sejak tahun 2011. Emisi sektor energi pada tahun 2022 mencapai 723,05 Mton CO2eq atau 59,2% dari total emisi di Indonesia.

Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 31,89% dengan upaya sendiri atau 43,2% dengan bantuan internasional, dari skenario business-as-usual (BaU) pada tahun 2030 seperti yang tercantum dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC). Dalam jangka panjang, Indonesia menargetkan kondisi nol emisi pada tahun 2060 atau lebih cepat. Pengurangan emisi dari sektor energi dilakukan melalui efisiensi energi dan transportasi, pengembangan energi terbarukan, bahan bakar rendah karbon, dan teknologi penyerapan karbon. Hingga tahun 2023, bauran energi terbarukan di Indonesia masih sekitar 13,2% dari target 23% di tahun 2025. Keterlibatan berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk memastikan visi transisi energi, termasuk pemerintah, lembaga keuangan, sektor bisnis, dan masyarakat umum.

Indonesia memiliki banyak potensi energi terbarukan. Berdasarkan studi IESR, potensi energi terbarukan di Indonesia mencapai 7.879,43 GW yang berasal dari energi surya, angin, dan mikrohidro. Keragaman dan penyebaran potensi di seluruh wilayah Indonesia dapat dikembangkan dalam berbagai skala mulai dari skala mikro, rumahan, komunal, hingga utilitas. Kondisi ini dapat mendorong partisipasi yang luas dalam pemanfaatan energi terbarukan, terutama oleh pemerintah dan kelompok masyarakat di tingkat lokal.

Di Jawa Tengah, praktik pemanfaatan energi terbarukan muncul karena mahalnya energi fosil dan diwujudkan melalui kerja sama antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Pompa Air Tenaga Surya (PATS) di Desa Kaliurip, Banjarnegara, misalnya, pemerintah kabupaten menyediakan sistem pembangkit listrik dan pompa, masyarakat menyumbangkan lahan yang ditempati sistem pembangkit, sementara pemerintah desa menyediakan dana untuk pembangunan pipa dan saluran irigasi. Kolaborasi ini berhasil mempertahankan sumber air yang berkelanjutan untuk 20 hektar sawah dan meningkatkan hasil panen. Instalasi ini juga mengurangi pengeluaran masyarakat untuk bahan bakar diesel untuk pompa konvensional yang biasa mereka gunakan.

Di Jawa Barat, pemanfaatan energi terbarukan berarti mempertahankan sumber energi yang telah lama digunakan di tengah perluasan jaringan listrik PLN. Berawal dari keterbatasan listrik di Desa Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, warga desa berinisiatif membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) bersama Dinas ESDM setempat pada tahun 2007. PLTMH Gunung Halu berhasil melistriki 80 rumah dan menggerakkan perekonomian masyarakat yang berprofesi sebagai petani biji kopi. PLTMH ini juga menjadi salah satu percontohan dalam penyediaan akses energi terbarukan sebagai hasil kolaborasi antara pemerintah daerah dan masyarakat.

Cerita menarik lainnya muncul dari Sumatera Selatan. Sebagai provinsi dengan potensi bioenergi yang tinggi, pemanfaatan biomassa dalam industri cukup mudah ditemukan. Salah satunya di industri padi di Kabupaten Ogan Ilir. Sekam padi yang dulunya menumpuk dan mengganggu masyarakat sekitar, kini dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik sebagai pengganti batu bara dan gas. Beberapa industri kelapa sawit juga memanfaatkan limbahnya untuk pembangkit listrik. Limbah cair diolah melalui proses anaerobik untuk menghasilkan biogas yang diubah menjadi listrik. Limbah padat berupa serat dan tandan kosong juga digunakan untuk bahan bakar boiler. Ekosistem seperti ini dapat direplikasi di daerah lain untuk mewujudkan sistem ekonomi sirkular.

Upaya untuk mendorong transisi energi juga dapat diperoleh dari Provinsi Bali. Sebagai salah satu destinasi wisata internasional, Bali selalu menjadi sorotan sebagai representasi Indonesia. Oleh karena itu, Bali memiliki lebih banyak inisiatif dalam hal regulasi dan perencanaan daerah terkait energi terbarukan dibandingkan dengan provinsi lain, termasuk melalui Peraturan Daerah Energi Bersih Bali, Surat Edaran PLTS Atap, dan Peraturan Daerah terkait kendaraan listrik. Dengan potensi energi terbarukan yang melimpah, Bali juga berkomitmen untuk mencapai target nol emisi pada tahun 2045, lebih cepat dari target nasional. Bali juga memprakarsai Program 100% Energi Terbarukan Nusa Penida sebagai salah satu proyek percontohan untuk penyediaan energi bersih di kepulauan ini. Melalui pendekatan ini, peluang untuk melakukan analisis mendalam dan kerja sama dengan berbagai pihak terbuka lebar untuk mencapai target tersebut.

Dari berbagai upaya daerah dalam pengembangan energi terbarukan, inisiatif dan kepemimpinan di tingkat masyarakat dan pemerintah menjadi kunci utama. Inisiatif dan kepemimpinan tersebut dapat diwujudkan melalui inovasi dan program-program yang dilaksanakan untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan dan menjawab kendala-kendala pengembangannya. Dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penambahan Urusan Pemerintahan Konkuren Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Subbidang Energi Baru Terbarukan, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih luas dalam pengembangan energi terbarukan.

Melalui kombinasi antara potensi energi terbarukan, dukungan pemerintah daerah, bantuan keuangan, bimbingan lembaga swadaya masyarakat, dan partisipasi masyarakat, pemanfaatan energi bersih di tingkat lokal dapat dilakukan. Model-model pemanfaatan energi terbarukan yang baik perlu ditulis dan dipublikasikan agar dapat direplikasi dan dikembangkan di daerah lain. Dengan demikian, target pengembangan energi terbarukan dapat tercapai melalui kerja sama seluruh masyarakat Indonesia.

Share on :

Leave a comment