Jakarta, 1 Desember 2021 – Setahun terakhir, istilah transisi energi menarik perhatian dalam proses advokasi kebijakan maupun wacana publik. Sektor energi, sebagai penghasil polusi nomor satu secara global, menjadi sorotan utama karena dunia sedang berpacu dengan waktu untuk membatasi kenaikan suhunya di level 1,5 derajat Celcius. Transisi energi, meskipun saat ini menjadi kebutuhan, sayangnya tidak memiliki formula universal untuk diterapkan di setiap kawasan atau negara. Setiap negara perlu memikirkan skenario yang paling cocok untuk transisi energinya dengan mempertimbangkan konteks dan situasi negara tersebut. Namun, mencari tahu pengalaman sebelumnya dalam mempersiapkan atau memulai transisi energi dapat membantu kelancaran proses persiapan transisi di suatu wilayah.
Indonesia membuat langkah yang cukup progresif sepanjang tahun ini, mulai dari pengumuman target net-zero pada tahun 2060 (lebih cepat) dan juga RUPTL terbaru yang memberi porsi lebih besar untuk energi terbarukan sebesar 51,6%. Meskipun target tersebut masih belum cukup untuk mencapai Persetujuan Paris, kemajuan dan komitmen yang diumumkan terus menarik para pihak untuk belajar tentang bagaimana pemerintah mengalihkan minatnya, dan akhirnya berkomitmen pada energi yang lebih bersih.
Pada 1 Desember 2021, IESR bertemu dengan Islamic Development Bank (IsDB), Almaty, Kazakhstan untuk berbagi informasi tentang kemajuan transisi energi di Indonesia serta pembelajaran mengenai peran lembaga non-pemerintah dalam mempercepat transisi energi baik di tingkat nasional maupun regional.
Berada di wilayah Asia Tengah, IsDB mengidentifikasi rendahnya investasi dan infrastruktur yang sudah tua di bidang pembangkit listrik, transmisi, serta distribusi sebagai masalah utama di kawasan tersebut. Potensi energi terbarukan seperti hidro dan surya hanya tersedia selama musim panas. Di musim dingin di mana suhu bisa turun, misalnya hingga -50 derajat celsius di Kazakhstan, sehingga harus dipikirkan cara untuk memasok listrik, dan energi apa yang dapat digunakan untuk memenuhi permintaan energi.
Dalam mengembangkan skenario yang lebih berkelanjutan, IESR sebagai lembaga think-tank independen secara aktif mengadvokasi agenda transisi energi melalui beberapa cara antara lain diseminasi penelitian, inisiasi gerakan, dan secara aktif mempengaruhi wacana publik.
“Sebagai contoh, kami mendorong penetrasi PLTS atap ke dalam jaringan, karena kami yakin teknologi tersebut dapat membantu demokratisasi akses energi di Indonesia yang dimonopoli oleh PLN,” Fabby Tumiwa Direktur Eksekutif IESR menjelaskan.
Dalam mempengaruhi dan membentuk opini publik, IESR melalui proyek Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) untuk Asia Tenggara aktif berjejaring dengan pemerintah, media, institusi akademik, dan publik untuk mempromosikan wacana transisi energi kepada khalayak yang lebih luas. Dalam hal advokasi kebijakan, CASE juga bermitra dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk memberi masukan pada tujuan pembangunan jangka panjang.
Memahami bahwa transisi energi merupakan masalah multidimensi, diperlukan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan dalam merencanakan dan mengimplementasikannya.
“Itu adalah langkah kami selanjutnya, kami akan mengadakan pertemuan dengan Kementerian Energi dan membicarakan rencana tersebut, mencari tahu apa yang dapat kami (IsDB) lakukan untuk mendukung penyebaran energi terbarukan dan skema kolaborasi apa yang paling cocok untuk mereka,” kata Edzwan Anwar dari IsDB.