Jakarta, 26 Januari 2022 – Sektor energi yang didominasi oleh energi fosil berkontribusi pada ⅔ emisi global. Agar penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) eksponensial, maka pemanfaatan energi terbarukan secara masif merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Salah satu upaya untuk memberdayakan 100 persen potensi teknis energi terbarukan yang banyak tersebar di seluruh provinsi di Indonesia adalah dengan pembangunan interkoneksi jaringan listrik Nusantara.
Jisman Hutajulu, Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, dalam webinar HK Experts (26/1/2022), menyatakan bahwa pemerintah melalui Kementerian ESDM telah berencana untuk menghubungkan sistem transmisi listrik antar pulau di Indonesia.
“Hal ini untuk mendukung rencana net-zero emission 2060. Kan salah satu yang mau didorong adalah penggunaan EBT, namun sumber EBT banyak berada jauh dari sumber beban yang banyak di Jawa. Jadi kita harus mentransmisikan energi itu ke pusat beban kita,” Jisman menjelaskan.
Jisman menuturkan bahwa pihaknya mendorong PLN untuk menyelesaikan interkoneksi di dalam pulau besar di Indonesia yang diharapkan akan sepenuhnya selesai pada 2024 untuk bertahap disambungkan antar pulau.
Jisman mengakui untuk membangun sistem transmisi ini, diperlukan biaya yang tidak sedikit. Maka pihaknya sedang membuat kajian prioritas, transmisi mana yang akan dibangun terlebih dulu. Lebih jauh, Jisman juga menyinggung potensi masuknya rencana pembangunan transmisi ini dalam Draft Inventaris Masalah (DIM) RUU EBT untuk memastikan prioritas pengerjaannya.
Dalam kesempatan yang sama, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR berpendapat bahwa sistem interkoneksi ini harus dilihat sebagai investasi bukan beban dari pilihan bertransisi menuju energi bersih.
“Perhitungan IESR, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah. Untuk surya saja, potensinya bisa mencapai 7.700 GW dengan potensi terbesar berdasarkan kesesuaian lahan, berada di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan,” jelas Fabby.
Fabby juga mengungkapkan bahwa untuk kebutuhan investasi awal pembangunan interkoneksi jaringan sampai tahun 2030 masih kecil yakni sekitar USD 3,3 miliar karena belum integrasi antar pulau. Namun investasi tersebut akan meningkat pada 2040 dan 2050, berturut-turut di angka USD 34,8 miliar dan USD 53,9 miliar.
Manfaat lain yang Indonesia bisa nikmati dari adanya interkoneksi antarpulau diantaranya dapat meningkatkan keandalan dan cadangan daya yang terkonsentrasi.
“Cadangan daya berlebihan di Sumatera bisa dikirim ke Bangka, begitupun sebaliknya,” ungkap Fabby.
Selain itu, jaringan yang terintegrasi antar pulau dapat mengurangi kebutuhan investasi untuk pembangunan pembangkitan. Menurutnya lagi, interkoneksi jaringan akan menciptakan keragaman bauran pembangkit dan keamanan pasokan, yang berbeda dari sistem energi fosil yang hanya berasal dari satu sumber energi. Lebih jauh Fabby memaparkan bahwa jika sistem interkoneksi ini sudah berjalan maka biaya pembangkitan listrik energi terbarukan akan turun hingga 18% – 46% pada tahun 2030.