Investor Jepang Studi Kelayakan PLTU di Batam

BY WILDA ASMARINI

JAKARTA (IFT)– Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan investor asal Jepang melakukan studi kelayakan proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Batam berkapasitas 800 megawatt dan diharapkan tuntas tahun ini. Widjajono Partowidagdo, Wakil Menteri Energi, mengatakan bila kajian yang dilakukan oleh investor Jepang itu tuntas dalam waktu dekat dan dinyatakan layak secara ekonomi untuk dibangun, lelang pengelola untuk proyek tersebut bisa dilakukan tahun ini.

“PT PLN (Persero) mungkin bisa ikut serta dalam proses lelang kalau mau menanamkan saham pada pembangkit tersebut,” ujar Widjajono, Rabu. Wakil Menteri Energi tidak bersedia menyebutkan identitas perusahaan Jepang yang melakukan studi kelayakan proyek pembangkit batu bara di Batam tersebut.

Perusahaan pengelola pembangkit listrik tersebut menurut Widjajono harus mampu berinvestasi untuk membangun kabel listrik ke Singapura. Pemerintah memproyeksikan sekitar 600 megawatt listrik dari pembangkit listrik tenaga uap tersebut akan diekspor ke Singapura dan 200 megawatt akan digunakan untuk meningkatkan pasokan listrik di Batam.

“Bila proses kajian dan pelelangan untuk penunjukan investor pembangkit tersebut lancar, diharapkan bisa langsung ke tahap berikutnya, yaitu masa pengadaan dan konstruksi (EPC). Mungkin dua atau tiga tahun ke depan, pembangkit tersebut bisa mulai beroperasi,” ujar dia.

Rencana ekspor listrik dari Batam ke Singapura sebagai pengganti ekspor gas ke Singapura. Menurut Wakil Menteri Energi, ekspor gas ke Singapura akan dikurangi untuk memenuhi pasokan gas untuk pembangkit listrik dan kebutuhan industri dalam negeri. Saat ini beban puncak listrik di Batam sekitar 264 megawatt, dengan daya mampu pasokan 304 megawatt.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, menilai rencana ekspor listrik ke Singapura ini harus benar-benar dipertimbangkan dan dikaji mendalam, terutama dalam penggunaan teknologi dan pertanggungjawaban terhadap emisi karbon yang dihasilkan dari pembangkit tenaga uap. Dia menyarankan agar teknologi yang digunakan pada pembangkit tersebut menggunakan teknologi khusus yang menghasilkan emisi karbon paling rendah karena sejumlah negara saat ini sudah membuat komitmen untuk pengurangan emisi karbon.

Karena listrik dari pembangkit ini akan diekspor ke Singapura, menurut Fabby, harus ada klausul siapa yang harus bertanggung jawab terhadap emisi karbon dari pembakaran batu bara pembangkit listrik ini. “Bila Singapura hanya menerima listrik bersih dan tidak ada kewajiban bagi dia untuk menanggung beban emisi rumah kaca, mereka untung dan kita yang akan dirugikan,” tuturnya.

Dia pun menyarankan agar dalam biaya ekspor listrik nantinya dimasukkan biaya eksternalitas, yakni pajak karbon, sehingga Singapura menanggung dampak emisi karbon ini. Namun, Fabby mengingatkan, harga listrik yang dijual PLN untuk domestik selama ini belum memasukkan unsur eksternalitas. (*)

Sumber: IFT.

Share on :