Jakarta, 15 Maret 2022 – Indonesia memiliki sumber daya alam potensial guna mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Selain itu, keberadaan PLTS sebagai pembangkit listrik energi terbarukan dapat dikembangkan dengan cepat dan secara harga pun sudah kompetitif dapat mendukung pencapaian target bauran energi terbarukan serta target penurunan emisi Indonesia. Melihat berbagai potensi tersebut maka perlu adanya komitmen dan dukungan terhadap akselerasi pengembangan PLTS.
Menjelang pergelaran Indonesia Solar Summit (ISS) 2022, Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) mengadakan empat kegiatan pendahuluan, salah satunya adalah IPP Track yang dilaksanakan pada Selasa, 15 Maret lalu.
Direktur Eksekutif Fabby Tumiwa mengatakan ISS bertujuan untuk membahas lebih lanjut kontribusi akselerasi energi terbarukan, khususnya surya, terhadap green jobs dan upaya mencapai target 20 gigawatt melalui pipe line project yang akan berdampak positif terhadap pemulihan ekonomi hijau Indonesia pasca pandemi.
Ida Nuryatin Finahari, Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan KESDM turut menyampaikan bahwa pemerintah akan berkomitmen pada target Perjanjian Paris. Salah satu strateginya ialah melalui penetapan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
Dengan kecenderungan PLTS yang lebih murah dan masa pembangunan yang lebih cepat, maka pemerintah melalui RUPTL 2021-2030 menambahkan target PLTS sekitar 4,7 gigawatt,” ungkap Ida.
Lebih lanjut, ia mengatakan target kapasitas pembangkit EBT di tahun 2030 dalam RUPTL sebesar 51,6% merupakan angka yang lebih besar dibandingkan target Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN).
Sejalan dengan itu, perwakilan dari Kementerian Kemaritiman dan Investasi, Ridha Yasser mengatakan kalau transisi energi ke energi terbarukan akan menjadi tren global dalam beberapa tahun ke depan. Pemerintah ini telah menyiapkan Energy Transition Mechanism (ETM) untuk mendorong perekonomian yang didasarkan pada teknologi hijau serta membangun kawasan industri hijau di Kalimantan Utara. Hal ini merupakan respon terhadap tuntutan pasar global agar produksi dilakukan dengan memanfaatkan energi ramah lingkungan.
“Namun demikian, di tengah tren permintaan panel surya yang tinggi, fabrikasi panel surya di Indonesia masih mengalami kendala dan di satu sisi juga harus bersaing dengan manufaktur solar yang berasal dari luar negeri,” ujarnya.
Acara IPP Track tersebut turut menghadirkan beberapa pengembang listrik independen (IPP), pemegang Izin Usaha Penyedia Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU), serta pengelola kawasan industri, baik swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam diskusinya seperti PT PLN, Akuo Energy, PT Cikarang Listrindo, PT Tunas Energi, PT Energi Prima Nusantara, PT Bitung Inti Cemerlang, dsbg.
Umumnya, pihak swasta yang hadir mengungkapkan mereka sudah mendukung penggunaan EBT untuk operasionalisasi industrinya. Namun, pihak swasta juga masih menemukan kendala seperti perizinan, kurang siapnya dalam penggunaan PLTS atap, kemungkinan adanya permasalahan limbah akibat penggunaan battery storage energy system, dan belum terjangkaunya harga PLTS di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T).
“Yang ingin ditekankan adalah konsistensi dari peraturan dan procurement yang ada, dari sisi implementasi perlu ada transparansi. Dan dari sisi TKDN, kami mendukung namun juga perlu melihat realitas lapangan agar persyaratan TKDN ini tidak menjadi kendala dalam mengembangkan PLTS di Indonesia. Jadi kalau pasarnya sudah terbentuk, industri dalam negeri akan muncul dengan sendirinya” ucap Komang dari Akuo Energy.
Sebagai pihak yang akan memanfaatkan banyak penggunaan energi, pihak industri perlu mendapatkan dukungan dari pemerintah dalam penggunaan energi terbarukan dari hulu hingga hilir. Hal ini turut ditempuh untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebagaimana yang telah direncanakan pemerintah.