Jakarta, 21 Maret 2023 – Sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani dan meratifikasi Persetujuan Paris pada tahun 2015, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisinya. Pada tahun 2022, menjelang KTT G20, Indonesia memperbarui komitmen penurunan emisinya dalam Enhanced NDC yang menargetkan penurunan emisi Indonesia dengan usaha sendiri sebesar 31,89% pada 2030 dan target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2030.
Energi surya dalam berbagai kesempatan disebut akan menjadi tulang punggung sistem kelistrikan Indonesia dalam pencapaian target bauran energ terbarukan dan penurunan emisi. Mengingat potensi teknisnya yang melimpah, kecepatan pemasangan, dan fleksibilitas ukuran yang dapat dengan mudah disesuaikan menjadikan surya sebagai pilihan yang pas untuk kondisi Indonesia saat ini yang harus meningkatkan bauran energi terbarukan dalam waktu sempit.
Sayangnya, dalam perkembangan satu tahun terakhir, dukungan terhadap PLTS atap kurang baik dari sisi offtaker listrik (PT PLN). Sejak 2022, PT PLN melakukan pembatasan kapasitas memasang PLTS atap yaitu hanya sebesar 10%-15% dari kapasitas terpasang. Pembatasan ini berimbas pada nilai keekonomian dari PLTS atap yang menjadi kurang menarik, baik untuk konsumen maupun pengusaha PLTS atap.
Dalam konferensi pers yang digelar Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Perkumpulan Pemasang PLTS Atap Seluruh Indonesia (PERPLATSI), Asosiasi PLTS Atap (APSA), Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) dan Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI), Fabby Tumiwa, Ketua Umum AESI menyatakan bahwa berbagai tantangan masih menghambat upaya akselerasi energi surya di Indonesia.
“PLTS skala besar di Indonesia sulit berkembang karena tidak adanya perencanaan jangka panjang di sistem ketenagalistrikan sebelum RUPTL 2021 – 2030, proses lelang yang kurang konsisten dan kurang kompetitif, skala keekonomian yang sulit tercapai karena lelang tersebar dan dalam skala kurang dari 20 MW, hingga aturan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang tidak didukung kesiapan industri dalam negeri,” tutur Fabby.
Kementerian ESDM mulai Januari 2023 melakukan revisi Peraturan Menteri ESDM 26/2021 tentang pelanggan PLN yang memasang PLTS atap. Revisi Permen ESDM 26/2021 ini menuai pro kontra salah satunya disampaikan Muhammad Firmansyah, Bendahara Umum PERPLATSI yang menyatakan bahwa poin revisi seperti peniadaan ekspor-impor listrik dari pengguna PLTS akan mengurangi minat calon pelanggan untuk beralih pada energi terbarukan. Perencanaan sistem kuota per sistem jaringan listrik juga dianggap dapat menghambat pengembangan PLTS atap.
“Dengan diberlakukannya kuota untuk PLTS atap, hal ini seperti menunggu kematian datang. Sebab jika kuota di satu sistem sudah penuh maka pelanggan tidak bisa lagi memasang PLTS atap yang tersambung dengan jaringan tersebut,” jelas Firmansyah.
Yohanes Sumaryo, Ketua Umum PPLSA menyoroti perubahan perilaku pengguna PLTS atap. “Beberapa dari kami mulai mengubah sistem PLTS atap di rumah untuk tidak terkoneksi dengan jaringan PLN (off-grid), terutama untuk menghindari kendala perizinan dan persyaratan lain yang memberatkan. Umumnya calon pengguna juga bingung dengan aturan baru terkait pembatasan dan syarat baru seperti profil beban.”
Menurut Yohanes, sudah banyak pengguna di kota dengan tarif daya cukup tinggi yang mulai berinvestasi baterai sehingga bisa menggunakan PLTS atap secara maksimal. Meski demikian, Permen ESDM No. 26/2021 perlu terus diperjuangkan untuk menaungi pengguna PLTS atap sebagaimana mestinya.
Tidak dilaksanakannya Permen ESDM No. 26/2021 berimbas pada berbagai sektor pendukung PLTS seperti industri panel surya yang menjadi sulit berkembang. Dikatakan Linus Sijabat, Ketua Umum APAMSI dalam kesempatan yang sama, aturan terkait TKDN masih menjadi tantangan untuk pengembangan industri panel surya dalam negeri.
“Persoalan TKDN pada industri panel dalam negeri ini membutuhkan regulasi yang konsisten dan implementasi yang serius disertai dengan dukungan pendanaan dari pemerintah, perbankan, maupun lembaga finansial untuk meningkatkan kualitas panel surya dalam negeri dan menjadikan kualitasnya bersaing dengan panel surya impor,” katanya.
Sejak tahun 2013, APAMSI telah mengupayakan investasi dalam jumlah besar untuk memajukan industri modul surya dalam negeri namun belum berhasil karena captive market dan permintaan (demand) dari energi surya di Indonesia belum terlihat jelas.
Imbas pembatasan pemasangan PLTS atap juga dirasakan oleh masyarakat Bali. Beberapa kasus menyatakan bahwa masyarakat telah memasang sistem PLTS sesuai aturan Permen 26/2021 namun tidak dapat digunakan sepenuhnya.
“Di Bali sendiri sangat banyak kendala, contohnya instalasi PLTS yang sudah terpasang namun tidak disetujui sepenuhnya oleh PLN sehingga sistem PLTS atap yang sudah terpasang menjadi tidak bisa digunakan sepenuhnya, padahal masyarakat memasang sesuai Permen ESDM 26/2021, yaitu 100% daya terpasang bangunan,” jelas Erlangga Bayu mewakili APSA Bali.
Banyak juga masyarakat yang bahkan sudah membayar DP (down payment) untuk pasang PLTS atap namun akhirnya membatalkan karena pembatasan kapasitas tersebut. Padahal masyarakat memasang PLTS atap dengan biaya dan kesadaran sendiri dengan motivasi untuk penghematan biaya listrik dan pelestarian lingkungan. Pembatasan kapasitas PLTS atap seakan mencekal kontribusi nyata gotong royong masyarakat untuk pencapaian target energi terbarukan dan penurunan emisi gas rumah kaca.