Surakarta, 24 September 2025 – Jawa Tengah terus menunjukkan komitmennya dalam mendorong pemenuhan target Net Zero Emission (NZE) tahun 2060 atau lebih cepat melalui pengembangan transformasi industri hijau. Komitmen tersebut diwujudkan dengan penerbitan Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah Nomor 500.9/0006073 Tahun 2025 tentang Akselerasi Transisi Energi Melalui Pemanfaatan Energi Terbarukan pada Sektor Industri Menuju Industri Hijau serta pembentukan Forum Industri Hijau Jawa Tengah. Upaya ini menegaskan pentingnya kolaborasi lintas pemangku kepentingan karena transformasi tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri.
July Emmylia, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah menjelaskan bahwa pihaknya bekerja sama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR) dan universitas untuk menyiapkan pendamping di tingkat kabupaten/kota dalam mendukung industri bertransformasi menuju industri hijau.
“Kami mendorong industri di Jawa Tengah untuk beralih ke industri hijau karena hal ini merupakan tuntutan pasar global, khususnya untuk menjaga daya saing ekspor. Bersama IESR, Universitas Sebelas Maret (UNS), dan Universitas Diponegoro (UNDIP), kami menyiapkan pendamping dan menyelenggarakan pelatihan guna meningkatkan kapasitas, terutama bagi industri kecil menengah (IKM), agar dapat memperoleh Sertifikasi Industri Hijau (SIH) atau melakukan transformasi menuju industri hijau,” ujar Emmylia dalam pelatihan pendamping transformasi industri hijau yang dilaksanakan di Hotel Spada Senin-Rabu (22-24/9/2025) yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Dinas Perindustrian Jawa Tengah, UNS dan UNDIP.
July Emmylia menambahkan bahwa ke depan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah berencana menghadirkan penghargaan industri hijau tingkat provinsi. Langkah ini ditujukan untuk mendorong motivasi pelaku industri, khususnya Industri Kecil Menengah (IKM), agar lebih aktif mengadopsi prinsip keberlanjutan dan pemanfaatan teknologi rendah karbon. Inisiatif tersebut diharapkan mampu memperkuat komitmen Jawa Tengah dalam mewujudkan industri hijau yang berdaya saing, berkelanjutan, dan ramah lingkungan.
Rahmat Jaya Eka Syahputra, Koordinator Keterlibatan Pemangku Kepentingan Industri Net-Zero, IESR, menambahkan bahwa pihaknya telah membuat klasifikasi atau klastering untuk memetakan kesiapan IKM agar pendampingan lebih efektif.
“Dalam pendampingan, kami membagi IKM ke dalam empat klaster. Klaster 0 adalah IKM yang belum memenuhi standar administrasi usaha, klaster 1 belum memenuhi aspek manajerial industri hijau, klaster 2 belum memenuhi aspek teknis industri hijau, dan klaster 3 merupakan IKM yang sudah mendekati pemenuhan standar namun masih memerlukan penyempurnaan. Dengan klasterisasi ini, strategi pendampingan menjadi lebih terarah serta memudahkan identifikasi posisi IKM dan aspek yang perlu ditingkatkan untuk naik level sesuai indikator yang telah ditetapkan,” jelas Rahmat.
Rahmat juga menambahkan bahwa program pelatihan pendampingan yang dilakukan IESR bersama Disperindag Provinsi Jawa Tengah yang bekerjasama dengan UNS dan UNDIP tersebut yaitu untuk mendukung keterlibatan IKM dalam bertransformasi menuju industri hijau melalui adopsi teknologi rendah karbon dan penerapan prinsip produksi berkelanjutan
Sementara itu, Lilin Indriyani, Pembina Industri Ahli Madya Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta, Kementerian Perindustrian, menekankan bahwa transformasi industri hijau harus memenuhi aspek manajemen dan teknis. Misalnya saja pada aspek manajemen IKM batik, dibutuhkan kebijakan industri hijau yang terstruktur, strategi efisiensi bahan baku, energi rendah karbon, pengelolaan air, pengurangan emisi GRK, pemantauan berkala, hingga program Corporate Social Responsibility (CSR) berkelanjutan. Dari aspek teknis, indikatornya mencakup penggunaan bahan baku, energi, air, teknologi proses, produk, SDM, penerapan sistem Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Lingkungan (K3L) . di proses produksi, serta pengelolaan lingkungan.
“Upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) menjadi indikator penting transformasi industri hijau. Industri didorong untuk memiliki baseline emisi, target, dan strategi pengurangan yang terukur. Implementasinya mulai dari pemenuhan baku mutu emisi, pengelolaan limbah cair, hingga pemanfaatan limbah sebagai bahan substitusi. Dengan langkah ini, industri bukan hanya patuh regulasi, tetapi juga lebih efisien dan berdaya saing,” ungkap Lilin.
Dari sisi energi, Rizqi Mahfudz Prasetyo, Koordinator Subnasional Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, menegaskan bahwa pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) merupakan solusi strategis dekarbonisasi industri. Dengan potensi energi surya nasional mencapai 3.000–20.000 GWp, PLTS dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang tinggi emisi. Karakteristiknya yang modular dan fleksibel, ditambah berbagai skema pembiayaan seperti performance-based renting, cicilan/kredit, maupun beli putus, membuat PLTS semakin mudah diadopsi. Biaya yang semakin kompetitif dan turun hingga 90 persen dalam sepuluh tahun terakhir juga mempercepat pemanfaatannya di sektor industri.
“Selain menurunkan emisi gas rumah kaca, PLTS juga mendukung efisiensi biaya energi jangka panjang, meningkatkan daya saing global, dan memperkuat komitmen industri menuju transformasi hijau yang berkelanjutan,” ujar Rizqi.
Ia menambahkan, IESR turut menyediakan platform Solarhub, yang dapat digunakan untuk menghitung estimasi biaya awal pemasangan PLTS, rekomendasi kapasitas solar cell, hingga informasi pendukung lain melalui fitur kalkulator surya dan fitur lainnya.