Pembangunan berkelanjutan identik dengan masa depan. Dalam laporan Our Common Future, yang dirilis oleh World Commission on Environment and Development atau yang juga dikenal sebagai Brundtland Commission tahun 1987, “Pembangunan berkelanjutan” menemukan maknanya: “pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.”
Laporan yang dikeluarkan oleh komisi tingkat tinggi yang dipimpin oleh Gro Harlem Brundtland, perempuan berkharisma dan cerdas, yang juga mantan Perdana Menteri Norwegia, demikian berpengaruh sekaligus berperan atas terselenggaranya Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development) yang pertama lima tahun kemudian. Konferensi ini melahirkan Agenda 21, yang menempatkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai intinya.
Dua puluh tahun, kemudian, puluhan ribu orang yang terdiri dari para pemimpin dunia, kelompok-kelompok masyarakat sipil, bisnis, dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya, menjejakkan kakinya ke Rio de Jeneiro, berusaha untuk memperjuangkan dan memberi makna atas masa depan dalam Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan, atau yang juga dikenal sebagai Rio+20 pada 20-22 Juni 2012.
Karena konferensi ini sejatinya adalah forum perundingan internasional, sebelum itu terdapat tiga pertemuan persiapan untuk membahas hasil dari konferensi. Basisnya adalah rancangan (draft) dokumen hasil (outcome document) yang dinamakan “The Future We Want.” yang menjadi bahan negosiasi di rapat persiapan ke-3 sebelum Rio+20, 13-15 Juni yang lalu.
Judul naskah ini sepertinya berusaha merefleksikan gagasan dan semangat untuk membuat masa depan yang lebih baik untuk generasi mendatang, ditengah hadirnya tiga krisis yang mengancam masa depan kita: bencana karena perubahan iklim, ketidakadilan dan ketidaksetaraan global dalam hal ekonomi, politik dan sosial, serta konsumsi yang tidak berkelanjutan akibat sistem ekonomi yang rusak.
Pertanyaan terpenting adalah, siapa yang berhak menentukan “masa depan yang kita inginkan?” Apakah sekelompok kepala negara yang dipilih secara demokratis atau tidak, para CEO korporasi dunia, yang barang dan jasa yang mereka hasilkan menguasai hajat hidup milyaran orang di dunia, para aktivis LSM yang gemar mengklaim berjuang untuk “rakyat” yang memenuhi kota Rio, atau sekelompok negosiator yang bergerilya dari ruang perundingan satu dan lainnya di RioCentro?
Saya tidak punya jawaban atas pertanyaan diatas. Tetapi saya percaya bahwa setiap umat manusia diatas bumi ini berhak bercita-cita dan mengekspreksikan masa depan yang dia inginkan.
Salah satu hal menarik di arena KTT di RioCentro adalah inisiatif untuk menuliskan ide tentang masa depan yang diinginkan oleh peserta konferensi Rio+20. Organisasi Terre des Hommes, meminta siapapun menuliskan gagasan dan harapan masa depan yang diinginkan oleh setiap individu, dan menempelkannya di dinding yang terletak di hall kedatangan di kompleks Rio Centro. Entah sudah berapa lama, ajakan ini dimulai, tapi ketika saya menjejakkan kaki untuk pertama kalinya ke Rio Centro hari minggu lalu, sudah ada ratusan kertas warna-warni yang tertempel dengan indah, dengan tulisan berbagai bahasa.
Semoga pemimpin, negosiator, aktivis, lobbyist, maupun para penggembira, dan seluruh yang mengikuti konferensi ini punya waktu mampir, membaca, dan merenungi arti dari goresan-goresan ini.
Para pembaca, What Future You Want?
Rio de Jeneiro, 18 Juni 2012