Evidence-based Communications to Propel the Energy Transition
Komunikasi menjadi salah satu instrumen kuat yang bisa digunakan untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap transisi energi dan energi terbarukan. Adapun cara menggunakan alat ini dalam menjangkau berbagai golongan masyarakat, tidak hanya orang yang kesehariannya bergelut di dunia energi, menjadi topik perbincangan yang menarik dalam Side Event Asia Clean Energy Forum 2021 berjudul Evidence-based Communications to Propel the Energy Transition yang diselenggarakan oleh Anggota konsorsium Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia” (CASE) bekerja sama Asian Development Bank.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan bahwa komunikasi memainkan andil yang penting dalam mencapai tujuan CASE. Adapun tujuan CASE diantaranya membangun dialog yang konstruktif dengan para pemangku kepentingan yang berasal dari sektor non energy dan menciptakan lebih banyak diskusi publik yang mendukung percepatan transisi energi.
Christiane Rossbach, Business Director, Multilateral, Sustainability, Agri Food and Health di Edelman dan Co – lead for CASE Communication Team, dalam presentasinya menekankan bahwa hal yang paling penting dalam mengomunikasikan transisi energi adalah dengan mendefinisikannya, sebagai misi krusial yang patut diketahui oleh masyarakat yang dituju.
“Apa peran komunikasi untuk mendorong transisi energi ke depan dengan membuat pemangku kepentingan menyadari transisi energi memberikan manfaat bagi mereka. Mereka ini adalah para pengambil keputusan, pemangku kepentingan non-energi, keuangan, entitas bisnis, para konsumen yang mampu memberikan pengaruh dengan banyak terlibat dalam pertemuan publik atau senang menyatakan pendapatnya, meskipun mereka bukan pengambil keputusan tapi mereka nyatanya lebih berpengaruh dalam menentukan arah bisnis, ”ujar Christiane.
Lebih lanjut, dia menjelaskan, selama pandemi, konsumsi konten daring berlipat ganda, oleh karena itu, perlu lebih teliti memilih bukti atau argumen mana yang paling cocok untuk audiens tertentu. Pendekatan yang ia sarankan dalam menyampaikan pesan pentingnya transisi energi agar terjadi peningkatan kesadaran, mendorong keterlibatan, dan menciptakan diskusi adalah dengan cerita bertutur.
“Di luar fakta dan angka, cerita bertutur merupakan cara yang kuat dalam menyampaikan suatu pesan. Otak manusia terprogram untuk memproses dan menyimpan informasi dalam bentuk cerita. Cerita akan merangsang indera kita secara emosional dan intelektual; bahkan dapat memberikan ‘wajah’ pada suatu isu sehingga dapat membantu pendengarnya terhubung secara empati, ”tambahnya.
Menyoal tentang narasi transisi energi, Renato Redentor Constantino Executive Director of Institute for Climate and Sustainable Cities (ICSC) dari Filipina berbagi pandangannya. Menurutnya narasi yang perlu disampaikan baik oleh organisasi non pemerintah maupun pemerintah adalah bahwa transisi energi sedang berlangsung.
“Tujuan pendaratan kita yaitu energi bersih yang akan dominan. Pertanyaannya sekarang, seberapa cepat kita sampai di sana? Bisakah kita tiba lebih cepat sehingga dapat memberikan manfaat energi modern dan bersih, terjangkau, dan handal ke meja ke ruang rumah suatu keluarga. Organisasi non pemerintah tidak perlu merasa sebagai satu-satunya pihak yang memiliki niat baik dalam menyuarakan energi bersih, sehingga seakan memonopoli narasi ini. Kita perlu menyadari bahwa pemerintah juga mempunyai mimpi tentang energi aman yang bersih, terjangkau, dan andal sebagai tujuan utama mereka, ”imbuh Constantino.
Berbeda dengan Filipina yang mengalami kemajuan dalam mengomunikasikan narasi, Gandabhaskara Saputra, Outreach and Engagement Adviser CASE Indonesia, mengungkapkan bahwa sebagian besar ranah pemberitaan di Indonesia masih didominasi oleh batubara.
“Merupakan hal yang menantang untuk membawa percakapan transisi energi melalui berbagai diskusi partisipatif dan advokasi publik selama 5-10 tahun terakhir. Menjadi hal yang sulit diterima oleh masyarakat karena transisi energi tidak mereka alami secara langsung dalam kehidupan sehari-hari serta selama mereka masih memiliki akses ke energi, ” urainya.
Di sisi lain, Markus Steigenberger, Deputy Executive Director of Agora Energiewende memandang perlu pula merancang penelitian yang sejalan dengan agenda politik.
“Masalah yang sering kita hadapi adalah, setelah penelitian selesai akan tetapi agenda politik sudah bergerak maju. Tentu saja sudah terlambat. Maka apapun yang Anda katakan menarik bagi pembuat kebijakan ini tetap tidak relevan bagi mereka,”jelasnya.
Menurutnya ada 2 hal yang perlu dilakukan yakni antisipasi strategis dengan memprediksi situasi politik dua atau beberapa tahun mendatang dan mengaitkan pada penelitian atau bukti yang relevan.
“Kami sudah harus mulai memikirkan tentang komunikasinya, sebelum kami benar-benar memulai penelitian yang sesungguhnya,”
Selanjutnya, menentukan metodologi yang terintegrasi dan inklusif dengan melibatkan stakeholder sedini mungkin dalam riset.
“Kami melibatkan pemangku kepentingan terkait untuk duduk bersama. Kami berbagi dan membuat transparansi data dan asumsi. Kami mengundang mereka untuk berbagi pandangan dan pendapat mereka. Hal ini sangat membantu dalam menciptakan rasa memiliki,” jelasnya.
Menurutnya, melalui cara ini, tanpa peluncuran kajian secara formal pun telah membantu mengkomunikasikan hasil riset kepada kalangan stakeholder yang terlibat dan relevan tersebut.
Rana Adib, Executive Secretary of REN21, menuturkan bahwa untuk menggerakkan suatu narasi perlu pula untuk melihat dari dua sisi, yakni dari energi terbarukan dan juga dari energi fosilnya. Mengutip laporan terbaru yang REN 21 rilis, selama satu dekade terakhir terjadi peningkatan konsumsi energi final di energi terbarukan yang semula hanya 9 persen menjadi 11 persen. Ironisnya, konsumsi final energi fosil justru tidak mencatat perubahan yang signifikan, hanya bergerak dari semula 80.3 persen menjadi 80.2 persen. Fakta ini menunjukkan bahwa perlu ada dorongan yang kuat kepada pemerintah dan pelaku bisnis untuk menargetkan pemanfaatan energi terbarukan di segala sektor dengan segera.
“Kita masih sangat jauh dari jalur. Energi terbarukan telah menunjukkan terutama di sektor listrik sebagai energi yang dapat diandalkan, mempunyai teknologi yang matang, dan biaya terendah. Namun, saat ini belum cukup hanya dengan mengatakan dukungan terhadap energi terbarukan, juga perlu memberikan pesan yang jelas tentang pelarangan bahan bakar fosil,”tegasnya pula.
Senada, Renato memandang, mengkomunikasikan narasi yang didukung dengan bukti konkret perlu bagi pengembangan energi terbarukan dan penghentian penggunaan energi fosil.
“Kenyataan yang perlu kita komunikasikan dengan lebih baik adalah bahwa batubara sebenarnya bersifat intermiten, umumnya tidak dapat diandalkan, mahal dan tidak aman,” tutupnya.