JAKARTA – Indonesia dinilai sebagai salah satu negara yang paling boros mengonsumsi energi fosil. Indikasi itu terlihat dari angka elastisitas dan intensitas energi yang jauh lebih tinggi dibandingkan negara lain. Sektor transportasi berkontribusi paling besar terhadap pemborosan energi yang tidak terbarukan itu.
Hal tersebut terutama disebabkan oleh buruknya kualitas fasilitas transportasi publik sehingga masyarakat memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi demi kelancaran perjalanannya.
“Penggunaan energi kita belum efi sien karena elastisitas energi masih cukup tinggi, yaitu 2,69, sedangkan intensitas energi primer sebesar 470 TOE (ton oil equivalent) per satu juta dollar AS,” ujar pengamat energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, di Jakarta, Jumat (8/6).
Elastisitas energi merupakan perbandingan antara laju pertumbuhan konsumsi energi dan laju pertumbuhan ekonomi. Semakin kecil angka elastisitas, semakin efi sien penggunaan energi di suatu negara. Intensitas energi adalah jumlah konsumsi energi per produksi domestik bruto (PDB).
Semakin rendah angka intensitas, semakin efi sien penggunaan energi di sebuah negara. Fabby menjelaskan konsumsi energi yang tidak efi sien itu terutama berasal dari penggunaan bahan bakar minyak (BBM) sektor transportasi akibat sangat banyaknya kendaraan pribadi. Pasalnya, pemerintah belum mampu menyediakan angkutan publik yang layak.
Turunkan Kesejahteraan
Sebelumnya, pengamat transportasi, Azaz Tigor Nainggolan, menjelaskan pemborosan energi akibat buruknya transportasi umum, jika tidak segera ditangani, akan makin menambah beban hidup masyarakat sehingga menurunkan kesejahteraan rakyat.
“Saat ini, lebih dari 25 persen pendapatan warga Ibu Kota per bulan dihabiskan hanya untuk biaya transportasi.” Fabby menambahkan tingginya kebutuhan kendaraan pribadi itu tecermin dari pertumbuhan penjualan kendaraan roda dua maupun roda empat yang sangat pesat setiap tahun. “Penjualan sepeda motor sekitar 13 juta–14 juta unit per tahun, sedangkan mobil sekitar 750 ribu–800 ribu unit per tahun,” jelas dia.
Kenaikan jumlah kendaraan pribadi otomatis meningkatkan konsumsi BBM. Apalagi Indonesia menjadi salah satu negara yang belum memiliki fuel effi ciency energy atau regulasi untuk efi siensi bahan bakar kendaraan. “Kita belum punya aturan soal konsumsi minimal bahan bakar kendaraan roda empat dan roda dua yang boleh dipasarkan di Indonesia,” jelas dia.
Padahal di kebanyakan negara, efi siensi bahan bakar menjadi kebijakan instrumental sehingga kendaraan bermotor baru yang tidak lulus standar efi siensi tidak bisa dipasarkan atau akan dikenai pajak yang lebih mahal. Selama ini, Fabby menilai kebijakan transportasi Indonesia lebih menguntungkan pabrikan kendaraan.
“Kelihatan sekali kalau produsen kendaraan yang untung,” jelas dia. Pemerintah semestinya juga visioner dan tidak menerapkan kebijakan parsial jangka pendek dalam pengelolaan energi dan transportasi.
Sebagai contoh, Pemerintah Brasil mensyaratkan penggunaan dua jenis bahan bakar, yakni BBM dan etanol, untuk semua kendaraan yang akan dipasarkan di negara itu. Sementara itu, peneliti pada Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEUI, Eugenia Mardanugraha, berpendapat pemerintah tidak peduli dengan pengembangan energi alternatif yang sebenarnya potensinya melimpah di Tanah Air.
“Mereka hanya berpikir untuk kepentingan diri sendiri. Yang dipikirkan hanya jangka pendek,” jelas dia. Ia menegaskan sudah saatnya pemerintah segera mengubah paradigma dan cara pandang tentang pengelolaan energi. “Pola berpikir jangka pendek, boros energi, karena masih bisa mengimpor minyak, harus ditinggalkan.” YK/lex/WP
Sumber: Koran Jakarta.