Kota merupakan salah satu penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar di Indonesia. Emisi tersebut berasal dari aktivitas manusia yang mengkonsumsi energi dan menghasilkan limbah. Dua sektor yang menghasilkan emisi tinggi adalah transportasi dan lingkungan binaan (konstruksi dan operasional bangunan). Berikut ini beberapa angka untuk menggambarkan seberapa besar emisi dari sektor-sektor tersebut. Climate Policy Initiative memperkirakan bahwa 40% dari total konsumsi energi nasional akan berasal dari sektor bangunan pada tahun 2030 sementara Institute for Essential Services Reform (IESR) melaporkan bahwa sektor transportasi menempati peringkat kedua dalam produksi GRK di negara ini pada tahun 2023. transisi energi
Keberadaan lebih banyak orang mengonsumsi lebih banyak energi. Pada tahun 2022, lebih dari separuh penduduk Indonesia tinggal di kota. Diperkirakan bahwa 70% penduduk Indonesia akan tinggal di daerah perkotaan dalam 20 tahun ke depan. Jika semua hal lain sama, emisi masa depan dari kota bisa jauh lebih buruk.
Menyadari bahwa kota merupakan penghasil emisi GRK terbesar, sistem energi mereka harus beralih ke sistem yang berkelanjutan sesegera mungkin. Ketika sebuah kota berhasil, kota-kota lain akan mengikutinya. Oleh karena itu, terjadi percepatan transisi energi di negara ini. Namun, bagaimana memulainya? Karena dampak transisi energi yang beragam, kolaborasi multipihak menjadi penting. Para pemangku kepentingan utama adalah pemerintah pusat, otoritas tingkat subnasional (pemerintah provinsi dan kota), masyarakat sipil, mitra internasional, dan sektor swasta.
Pemerintah pusat menetapkan target pengurangan emisi nasional berdasarkan dokumen Nationally Determined Contributions (NDC) terbaru dengan memperhatikan pertumbuhan ekonomi, keamanan energi, dan keandalan. Karena tidak ada lagi lembaga energi di tingkat kota, pemerintah provinsi bertindak sebagai utusan pemerintah pusat di tingkat daerah. Sedangkan pemerintah kota, mereka menjalankan rencana pemerintah pusat dengan mengendalikan penerbitan izin, menerapkan peraturan daerah dalam sistem transportasi berkelanjutan, dan mempromosikan transisi ke masyarakat lokal.
Aktor non pemerintah seperti masyarakat sipil dan mitra internasional bekerja dengan kementerian dan otoritas subnasional untuk meneliti, meningkatkan pengembangan kapasitas sumber daya manusia, atau memberikan hibah infrastruktur. Collaborative Labelling and Appliance Standards Program (CLASP), salah satu organisasi nirlaba, menghasilkan Survei Penggunaan Akhir Perumahan Indonesia yang memberikan informasi tentang penetrasi peralatan (estimasi persentase orang di Indonesia yang memiliki peralatan), jam penggunaan setiap peralatan, dan yang terpenting, estimasi konsumsi energi di rumah tangga. Jika digunakan dengan benar, informasi tersebut dapat membantu regulator dan pembuat keputusan merencanakan transisi.
Terakhir, para pelaku bisnis juga mengeksplorasi peluang dari transisi energi yang sedang berlangsung, menciptakan skala ekonomi dan meningkatkan pendapatan negara. Layanan manajemen energi untuk bangunan, Pendinginan sebagai Layanan (Cooling as a Service) di bangunan, dan stasiun pengisian kendaraan listrik publik semakin bertambah jumlahnya. Jika semua pihak melakukan tugasnya dengan baik, Indonesia akan bertransisi relatif cepat, dipelopori oleh transisi energi kota yang didukung oleh kolaborasi multi-pemangku kepentingan.
Indonesia terus maju dalam mengejar transisi yang berkelanjutan. Namun, kemajuannya tidak cukup cepat. Beberapa isu muncul dari pemerintah pusat yang memiliki kendali penuh atas masalah energi dan transisi. Sementara itu, kota-kota yang berada di garis depan perjuangan memiliki kewenangan yang terbatas atau bahkan tidak memiliki kewenangan sama sekali. Salah satu faktor yang mempersulit adalah keterlambatan penyusunan dan penandatanganan dokumen hukum seperti Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Terbarukan. Undang-Undang tersebut mencakup harga energi baru dan terbarukan, insentif fiskal dan non fiskal, serta subsidi biaya energi terbarukan. Karena undang-undang tersebut akan memberikan kerangka hukum yang jelas untuk energi baru dan terbarukan, keterlambatan penandatanganannya berdampak pada upaya transisi.
Contoh lain adalah proses penyelesaian Rancangan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Pengelolaan Energi yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2023 tentang Konservasi Energi yang memakan waktu lama. Rancangan penting tersebut mengatur tata cara pengelolaan energi, insentif, dan sanksi atas ketidakpatuhan. Tanpa penyelesaian Rancangan Peraturan tersebut, Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2023 tidak dapat diberlakukan. Peraturan Nomor 33 berpotensi besar untuk mendorong lebih banyak penyedia dan pengguna energi untuk melakukan kegiatan konservasi energi melalui pengelolaan energi. Penulis memahami bahwa rancangan peraturan tersebut masih dalam proses, dan kemungkinan besar tidak akan ditandatangani tahun ini. Hal ini akan memperlambat laju transisi energi di Indonesia.
Sebagai kesimpulan, kolaborasi multipihak dapat mempercepat transisi secara eksponensial. Namun, hal itu juga dapat menunda kemajuan secara signifikan karena pemerintah pusat memiliki sebagian besar kewenangan atas masalah energi. Keterlambatan dalam pembuatan dan penandatanganan dokumen hukum membawa dampak buruk pada pelaksanaan rencana. Terakhir, meskipun tidak ada lagi lembaga energi di tingkat kota, bukan berarti kota menjadi tidak berdaya dalam hal energi. Pemerintah kota memegang kendali dalam memetakan proyek-proyek yang menjanjikan terkait transisi energi, seperti memasang panel surya di gedung-gedung pemerintah atau memilih sistem transportasi yang sangat efisien dan menginformasikan kepada pemerintah pusat melalui kementerian terkait tentang kebutuhan tersebut. Diperlukan upaya cerdik dari semua pihak untuk menyeimbangkan antara keterbatasan anggaran, kewenangan, dan peluang yang dapat diberikannya. Namun, tidak ada yang mustahil jika kita mengingat Ibu Pertiwi.