Jakarta, 8 Februari 2023 – PLN saat ini tengah dilanda krisis kelebihan pasokan listrik. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut, termasuk pandemi dan resesi global. Ditambah lagi, terdapat megaproyek PLTU batubara 35 Gigawatt yang telah digagas sejak tahun 2015 yang baru beroperasi 47% di tahun 2022. Namun terdapat pula beberapa miskonsepsi mengenai krisis ini. Dalam perbincangan di acara Energy Corner CNBC (6/2/2023), Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional, dan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengupas beberapa miskonsepsi tersebut.
Menurut Herman, sudah umum bagi jasa penyedia listrik, termasuk PLN, untuk menyediakan persentase reserve margin atau cadangan daya pembangkit terhadap beban puncak. Jika menilik negara lain, 40-50% menjadi acuan normal bagi reserve margin untuk mengantisipasi pertumbuhan dan pemeliharaan. Pada 2022 sendiri, tercatat pertumbuhan listrik sebesar 6,15% (termasuk dari produsen listrik swasta), dan diperkirakan akan terus meningkat pada tahun-tahun ke depan.
“Di pulau Jawa sendiri mungkin memang reserve marginnya 60%, sementara di tempat lain kekurangan daya. Jadi dalam dua tahun ke depan, diperkirakan sudah tidak ada overcapacity,” jelas Herman
Masuknya permintaan listrik di luar PLN dalam angka pertumbuhan listrik dinilai oleh Fabby kurang mencerminkan realisasi pertumbuhan di dalam PLN yang kurang dari 5%. Ia menganggap situasi kelebihan pasokan saat ini terjadi karena ketidaksesuaian proyeksi permintaan yang menjadi basis perencanaan 35 GW dan realisasinya. “Dari 35 GW yang telah direncanakan, sebesar 5,4 GW belum kontrak dan belum mendapatkan pendanaan. Alangkah baiknya apabila jumlah tersebut dapat dibatalkan atau dialihkan ke energi terbarukan,” jelas Fabby.
Herman dan Fabby setuju bahwa perlu adanya evaluasi dari PLN di berbagai aspek. Pertama, harus menajamkan prediksi pertambahan permintaan listrik, sekaligus memperhitungkan pasokan listrik dari pembangkit swasta. Hal ini bisa mengurangi kemungkinan kelebihan kapasitas, yang bisa berakibat biaya yang harus ditanggung pemerintah, atau kenaikan tarif ke pelanggan.
Kedua, adanya evaluasi kontrak jual beli daya dengan produsen listrik swasta terutama yang menggunakan klausul take or pay. 80% dari kelebihan suplai listrik datang dari take or pay swasta, dan tiap GWnya membebani negara sebesar Rp3 triliun.
Ketiga, perlu adanya evaluasi jadwal antar proyek. Kecenderungan yang sering terjadi adalah penyelesaian proyek disesuaikan dengan masa jabatan pemerintah, sehingga tidak sesuai dengan pertumbuhan permintaan listrik, namun justru terjadi pertambahan kapasitas secara tiba-tiba.
“Jadwal COD (tanggal operasi komersial) harusnya ditentukan PLN, bukan masa jabatan pemerintah. Lazimnya, proyek direncanakan tahun per tahun agar tidak terjadi undercapacity maupun overcapacity,” ujar Herman.
“Sisa 5,4 GW ini penting untuk dipantau. Proyek ini paling banyak didanai oleh Tiongkok, sementara sejak beberapa tahun yang lalu, Tiongkok sudah tidak membiayai proyek PLTU lagi, sehingga apabila sudah pasti tidak dapat pendanaan, lebih baik dibatalkan atau dialihkan ke energi terbarukan. Evaluasi kemudian penting untuk memberi kestabilan pasokan dan harga yang terjangkau,” tutup Fabby.