Koran Tempo, 1 Februari 2012
JAKARTA – Sejumlah pengamat mendukung rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik. Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform, Fabby Tumiwa, misalnya, menilai kebijakan itu bakal meningkatkan efisiensi pengelolaan penggunaan listrik masyarakat.
Tarif listrik juga perlu dinaikkan karena PT PLN tidak memiliki dana cukup untuk berinvestasi dalam mengurangi loss distribusi. “Mengurangi losses perlu banyak perbaikan, di antaranya perbaikan gardu, trafo, kabel. Itu semua butuh modal besar,” kata Fabby. Investasi juga tak dapat dilakukan jika pendapatan perusahaan terbatas.
Hal ini menanggapi pernyataan Menteri Keuangan Agus Martowardojo, yang yakin kenaikan tarif dasar listrik dapat berlaku mulai 1 April mendatang. Besar kenaikan tarif itu akan bervariasi, namun paling tinggi 10 persen.
Kenaikan tarif listrik diperlukan setelah subsidi listrik diturunkan menjadi Rp 45 triliun pada tahun ini. Padahal, dengan tarif listrik yang sekarang berlaku, PLN membutuhkan subsidi Rp 65,6 triliun.
Selain itu, pemerintah menyebutkan beberapa alasan kenaikan tarif listrik tahun ini, di antaranya untuk mengejar pertumbuhan listrik 9 persen dan rasio elektrifikasi 75 persen. Selain itu, subsidi listrik hanya boleh dinikmati oleh masyarakat yang berhak.
Meski begitu, Fabby berpendapat, selain penyesuaian harga, pemerintah harus mengupayakan penurunan biaya pokok produksi. “Biaya terbesar ada di pembangkit karena konsumsi bahan bakar minyak yang tinggi. Idealnya, konversikan penggunaan BBM ke bahan bakar gas dan maksimalkan penggunaan batu bara,” katanya.
Terpisah, Menteri Agus menyatakan rencana tersebut terganjal oleh restu Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal seharusnya rencana pemerintah itu mulai dibahas pada Januari.
Menanggapi rencana itu, kalangan pengusaha merasa terpukul oleh rencana kenaikan tarif ini. Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia Surakarta, Rihatin Boedijono, menyatakan selama ini telah berusaha bertahan dan berproduksi meskipun tak punya cukup dana untuk berinvestasi atau menggenjot kapasitas produksi. “Karena tingginya ongkos produksi,” ujarnya.
Saat ini, kata dia, sebagian besar pengusaha belum bisa membayar tagihan kenaikan tarif listrik pada 2010. Khusus di Surakarta, dia memperkirakan baru 25 persen industri yang sudah bisa membayar tarif listrik sesuai dengan ketentuan dua tahun lalu itu.
“Sisanya masih membayar dengan tarif yang lama. Kemudian selisih antara tarif lama dan tarif baru dipenuhi dengan dicicil,” ujar Rihatin. Karena itu, jika tahun ini ada kenaikan tarif listrik, pengusaha harus membayar tagihan lebih banyak, sementara tagihan yang lama belum dipenuhi.
Hal senada diungkapkan oleh Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jawa Tengah Joko Santoso. Ia menilai sebetulnya prospek industri tekstil tahun ini bakal lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya, tapi terganjal kenaikan tarif listrik.