Jakarta, 21 Maret 2023 – Saat ini penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap terus didorong karena diyakini bisa memenuhi kebutuhan energi masa depan. Sebagai andalan mengejar bauran 23% energi terbarukan di tahun 2025, PLTS atap ditargetkan bisa terpasang mencapai 3,6 Giga Watt (GW). Untuk mendukung itu, pemerintah terus gencar mempromosikan pemasangan PLTS atap baik di kalangan rumah tangga maupun industri. Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, perjalanan panjang energi surya di Indonesia. Diawali dengan pengembangan dan penelitian mengenai energi surya i sebelum tahun 1980-an. Hingga kemudian, penggunaan PLTS atap berkembang hingga sekarang.
“Sebelum tahun 2018-an, terdapat peraturan direksi PT PLN tentang pemanfaatan energi listrik dari fotovoltaik oleh pelanggan PLN. Aturan itu berisikan mengenai instalasi PLTS atap diperbolehkan beroperasi paralel dengan jaringan PLN, ekspor kelebihan listrik diperbolehkan dengan skema net-metering, tarif 1:1,” jelas Marlistya dalam acara Zona EBT pada Selasa (21/3/2023).
Lebih lanjut, Marlistya menuturkan, setelahnya terdapat Peraturan Menteri ESDM No 49 Tahun 2018 tentang penggunaan sistem PLTS atap oleh konsumen PT PLN. Permen ESDM tersebut mengatur mengenai diperbolehkannya instalasi PLTS atap tersambung jaringan , kapasitas PLTS atap maksimum 100 dari daya terpasang, diukur dari kapasitas inverter, ekspor kelebihan listrik diperbolehkan dengan skema net-metering, tarif 1:0,65. Selain itu, ada perhitungan offset di akhir bulan dan deposit kelebihan diperbolehkan hingga periode tiga bulan, prosedur teknis dan perizinan dijelaskan serta diberlakukan biaya paralel untuk pelanggan industri.
“Pada dasarnya, peraturan Menteri ESDM tersebut bisa disebut sebagai peraturan PLTS atap “original”. Namun demikian, terdapat perubahan di tahun 2019, di mana instalasi PLTS atap memerlukan izin operasi dan merujuk pada Permen ESDM No 12/2019, instalasi <500 kVA tidak memerlukan izin operasi. Kemudian, biaya paralel industri untuk pelanggan industri diturunkan menjadi 5 jam/bulan dari 40 jam/bulan serta biaya darurat dihapuskan,” terang Marlistya.
Dengan berbagai peraturan tersebut, kata Marlistya, terdapat pertumbuhan PLTS atap yang signifikan di rentang 2018-2020. Selain itu, berbagai pabrik mulai memasang PLTS atap. Dengan pertumbuhan tersebut, kemudian muncul regulasi terbaru yakni Permen ESDM No 26 Tahun 2021. Aturan tersebut mengatur tentang PLTS atap tersambung jaringan diperbolehkan di semua wilayah pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPLTU), kapasitas PLTS atap maksimum 100 dari daya terpasang dengan diukur dari kapasitas inverter, ekspor kelebihan listrik diperbolehkan dengan skema net-metering, tarif 1:1, perhitungan offset dilakukan di akhir bulan dan deposit kelebihan diperbolehkan hingga periode enam bulan.
“Sayangnya, peraturan tersebut baru diumumkan pada tahun 2022. Ketika Permen ESDM No 26 Tahun 2021 terbit, justru terdapat pembatasan kapasitas pemasangan 10-15% atau lebih rendah di seluruh wilayah Indonesia, serta tarif ekspor listrik tetap 0,65 sesuai Permen ESDM lama. Pembatasan ini bisa ditemui ketika konsumen mengajukan izin pemasangan PLTS atap di rumahnya, lalu terdapat surat balasan dari PLN yang berisikan pembatasan tersebut,” ujar Marlistya.
Pembatasan kapasitas itu, kata Marlistya, terjadi secara universal di Indonesia hingga muncul pengaduan konsumen terkait hal tersebut melalui lembaga asosiasi. Dengan adanya kondisi tersebut, menjadikan 2022 sebagai tahun pertama yang pengembangan PLTS atapnya justru mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Mengutip data Kementerian ESDM 2023, ujar Marlistya, pertumbuhan pelanggan PLTS atap di 2018 mencapai 609, 1.064 di 2019, 1.334 di 2020, 1.787 di 2021, dan 1.667 di 2022.