Jakarta, 23 September 2021 – Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) berjudul Deep decarbonization of Indonesia’s energy system menunjukkan bahwa bahan bakar nabati (BBN) dan hidrogen mempunyai peran dalam mencapai dekarbonisasi menyeluruh sektor transportasi. Dominasi kendaraan listrik yang memakai listrik bersumber pada energi terbarukan akan mutlak pada 2050 terutama untuk kendaraan penumpang, sedangkan penggunaan BBN sendiri dan hidrogen akan beralih ke sektor transportasi yang tidak dapat dielektrifikasi seperti kendaraan berat.
Julius Adiatma, Spesialis Bahan Bakar Bersih, IESR menjelaskan dalam jangka pendek, hidrogen berpotensi untuk mulai digunakan di sektor industri sambil melihat perkembangan keekonomian dari hidrogen.
“Sementara untuk sektor transportasi darat, kendaraan listrik berbasis baterai merupakan opsi yang paling tepat karena efisiensinya yang lebih tinggi dibanding opsi lain, harganya yang terus menurun, teknologi (juga meningkat-red) misalnya juga semakin singkat,” ungkapnya pada hari ke-empat Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021 yang diselenggarakan oleh Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR), Kamis (23/09/2021).
Secara ekonomi, ia berpendapat bahwa BBN terutama biodiesel akan memainkan peran yang cukup besar di Indonesia. Hal ini mempertimbangkan tersedianya sumber daya hayati untuk memproduksi BBN.
“Sayangnya saat ini BBN terfokus pada minyak kelapa sawit (biodiesel). Sedangkan lahan yang tersedia untuk mengembangkan lahan sawit semakin sedikit. Maka kita harus mencari jalan lain untuk memproduksi BBN selain kelapa sawit misalnya dari limbah atau tanaman lain,” urainya.
Merujuk pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Outlook Energy 2021, Eniya Listiani Dewi, Peneliti BRIN mengemukakan pengembangan kendaraan listrik yang disertai dengan pemanfaatan energi terbarukan dapat secara efektif menurunkan emisi karbon.
“Kami meminta PLN untuk memperbanyak penetrasi energi baru terbarukan. Kalau kendaraan elektrik jarak tempuhnya terbatas, kita perpanjang menggunakan bahan bakar hidrogen,” ujar Eniya.
Menurut Eniya, teknologi pengembangan bahan bakar hidrogen hijau dengan konsep elektrolisis dari kombinasi PLTS atau turbin angin dapat menjadikannya sebagai penyimpan energi.
“Saat ini sedang dilaksanakan studi (elektrolisa-red) PLTS Apung Cirata. Nantinya kelebihan energi dari PLTS tersebut akan direkomendasikan untuk proses elektrolisa air dan memproduksi gas hidrogen,” ungkapnya.
Alloysius Joko Purwanto, Ekonom Energi, Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) memaparkan skenario untuk mendukung pengembangan hidrogen dalam sektor transportasi, salah satunya ialah dengan pemanfaatan hidrogen yang diproduksi dari gas (grey hydrogen) sekarang juga untuk menciptakan pasar dan membangun infrastruktur yang diperlukan dan selanjutnya beralih ke hidrogen hijau yang diproduksi menggunakan energi terbarukan.
Sebagai bagian dari prinsip pengembang hidrogen hijau di Indonesia, ia menjelaskan perlu pula memperhatikan ceruk pasar untuk transportasi berbahan bakar hidrogen.
“Hidrogen mungkin akan cocok untuk kendaraan yang jangkauan jarak jauh atau untuk penggunaan kendaraan alat berat, seperti kendaraan komersial atau bus. Kemudian harus disesuaikan dengan wilayah di mana energi yang terbarukan untuk listrik cukup tersedia,” pungkas Joko.