Jakarta, 28 Maret 2023 – Proses bertransisi energi memerlukan upaya yang besar dari segala sektor, termasuk sektor transportasi. Dekarbonisasi transportasi kemudian menjadi cara yang praktis dan terjangkau untuk memotong emisi karbon. Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan menggunakan kendaraan listrik. Dalam wawancara dengan Saya Pilih Bumi di IIMS 24 Februari lalu, Faris Adnan, Peneliti Sistem Ketenagalistrikan dan Sumber Daya Energi Terdistribusi IESR, menjelaskan mengenai kemajuan dekarbonisasi transportasi yang tengah terjadi di Indonesia.
“Dari tahun ke tahun, perkembangan kendaraan listrik di Indonesia sebetulnya terus meningkat. Di 2022 sendiri, peningkatan adopsi motor listrik bisa mencapai 5 kali lipat dan mobil listrik 3 kali lipat dari tahun sebelumnya,” jelas Faris.
Secara penyebaran geografis, 70-80% dari kendaraan listrik di Indonesia masih terpusat di DKI Jakarta. Secara kemampuan ekonomi pembeli, penggunanya juga kebanyakan golongan menengah ke atas. Demografi ini sesuai dengan kemampuan ekonomi per daerah, yang menganggap bahwa harga kendaraan listrik masih kompetitif dibandingkan kendaraan bahan bakar.
Faris menuturkan fasilitas pengisian daya cenderung dibangun di wilayah yang mempunyai pengguna kendaraan listrik yang tinggi sehingga menciptakan dilema bagi pengguna kendaraan listrik di daerah maupun kepada investor. Pengguna kendaraan listrik terpusat di Jakarta, sehingga Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) paling banyak dibangun di Jakarta. Investor akan lebih enggan untuk membangun di daerah yang sepi pengguna, sementara pengguna juga akan berpikir ulang untuk menggunakan kendaraan listrik karena adanya kecemasan jarak. Sehingga, diperlukan kebijakan dan investasi pemerintah untuk menghentikan permasalahan tersebut.
Mengenai performa kendaraan listrik itu sendiri, Faris menganggap bahwa teknologinya belum sempurna. Sistemnya memiliki limitasi yang apabila dihilangkan, bisa membuat rangenya lebih besar atau kecepatannya lebih tinggi. Namun, baterainya akan lebih mudah rusak. Selain itu, Faris menilai apabila daya kendaraan rendah, kecepatannya juga akan menurun, berbeda dengan kendaraan bahan bakar.
Setiap tahun, konsumsi BBM naik sekitar 1,2 juta kiloliter, yang tentunya menyumbang kenaikan emisi karbon yang signifikan. Faris kemudian menjelaskan bahwa perbandingan emisi antara kendaraan listrik dan bahan bakar sebetulnya tergantung dengan penggunaannya. Saat ini, Indonesia masih mayoritas menggunakan batubara sebagai pembangkit energi, sehingga penggunaan kendaraan listrik belum menjadi nol emisi. Namun dengan pemakaian yang sama, emisi yang dikeluarkan dari kendaraan listrik tentu lebih rendah. Jika kendaraan listrik bersumber dari energi terbarukan, maka emisi yang dikeluarkan akan menjadi lebih minim dibandingkan jika listriknya bersumber dari PLTU batubara.“Kendaraan listrik penting untuk mengejar dekarbonisasi namun bukan menjadi solusi satu-satunya. Jika kita membicarakan dekarbonisasi, yang penting adalah menggunakan kerangka Avoid-Shift-Improve (ASI). Keberadaan kendaraan listrik ini juga bisa membantu untuk melepas ketergantungan kita akan BBM, dan lebih baik lagi jika diintegrasikan dalam transportasi umum,” pungkas Faris.