Kerjasama Selatan-Selatan: Agenda Strategis Indonesia dalam Diplomasi Iklim Global

Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih awal. Untuk mencapai target ini, transisi dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan diperlukan. Indonesia diberkahi dengan potensi besar sumber energi terbarukan lebih dari 3.000 GigaWatt (GW), sebagian besar terdiri dari tenaga surya dan angin (IRENA, 2022). Namun demikian, terlepas dari potensi ini, peralihan menuju sistem energi terbarukan berjalan lambat. Bahan bakar fosil masih mendominasi konsumsi energi Indonesia, dengan batubara menyumbang 40,46% dari total pasokan energi primer (ESDM, 2024). Dewan Energi Nasional (DEN) melaporkan bahwa kapasitas energi terbarukan terpasang Indonesia baru mencapai 13,09% dari total pasokan energi primer pada tahun 2023. Meskipun Indonesia telah membuat kemajuan dalam pengembangan energi terbarukan, kecepatan dan skala yang dibutuhkan masih belum mencapai target nasional. Diplomasi Iklim

Beberapa tantangan menghambat transisi energi Indonesia. Kurangnya investasi, kapasitas teknis, dan kebijakan yang tidak konsisten sering disebut sebagai hambatan utama Indonesia untuk transisi energi (Mongabay, 2024). Di sektor investasi, misalnya, IESR (2024) memperkirakan bahwa Indonesia akan membutuhkan sekitar 30–40 miliar USD per tahun untuk investasi infrastruktur energi terbarukan hingga tahun 2050. Selama masa presidensi G20 Indonesia tahun 2022, Indonesia memperoleh pendanaan sebesar 20 miliar USD melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP). Namun, skala proyek dan jumlah investasi dari JETP tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan transisi energi Indonesia. Dalam konteks ini, Indonesia perlu mendorong kerja sama internasional lebih lanjut, khususnya dengan negara-negara di Global South, untuk proyek-proyek transisi energinya.

Tiongkok adalah contoh kasus transisi energi yang patut dicontoh. Pada tahun 2020, Tiongkok berkomitmen untuk mencapai puncak emisi karbon sebelum tahun 2030 dan netralitas karbon sebelum tahun 2060 (The Guardian, 2020). Sejak saat itu, Tiongkok berinvestasi besar-besaran dalam berbagai pengembangan teknologi energi terbarukan seperti kapasitas tenaga angin dan surya, hidrogen hijau, dan proyek-proyek panas bumi (Yale Environment 360, 2024). Pada tahun 2023, proporsi energi terbarukan Tiongkok mencapai sekitar 50% dari total kapasitas terpasang (Reuters, 2023). Global Energy Monitor (GEM) menyatakan bahwa Tiongkok saat ini memimpin pengembangan energi terbarukan global dengan kapasitas sebesar 339 GW yang sedang dibangun, hampir dua pertiga dari pembangkit tenaga surya dan angin skala utilitas dunia yang sedang dibangun. Selain itu, perusahaan-perusahaan Tiongkok juga tengah memperluas investasi luar negeri dalam proyek-proyek energi terbarukan, mencapai 7,9 miliar USD, terutama di negara-negara penerima pendanaan Belt and Road Initiative (BRI) (Green FDC, 2024).

Sebagai isu global yang mendesak, urgensi mitigasi perubahan iklim menuntut kerja sama yang lebih kuat antarnegara. Secara historis, Indonesia dan Tiongkok telah memelihara kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan sambil bersama-sama menavigasi tantangan global yang kompleks, termasuk di sektor energi (Wibowo, 2019). Bersama-sama, kedua negara dapat membina kolaborasi untuk meningkatkan kapasitas teknologi dan berinvestasi dalam energi bersih serta pengembangan ekonomi hijau. Indonesia dapat belajar dari Tiongkok untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, sementara Tiongkok dapat mengisi kekurangan Indonesia dalam kebutuhan investasi dan pengembangan kapasitas untuk energi terbarukan.

Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan antara Indonesia dan Tiongkok menjadi lebih kuat. Pada tahun 2023, total investasi Tiongkok di Indonesia adalah yang terbesar kedua, mencapai 7,4 miliar USD (BPS, 2023). Indonesia juga menempati peringkat ketiga penerima investasi BRI terbesar di antara semua negara BRI. China’s Foreign Direct Investment (FDI) Tiongkok dalam kerangka BRI dari tahun 2014 hingga 2022 diperkirakan mencapai sekitar 29,55 miliar USD, di mana seperempat dari investasi ini masuk ke sektor energi (American Enterprise Institute, 2023). Meskipun hubungan kedua negara semakin erat, kerja sama Indonesia dan Tiongkok juga menghadapi sejumlah tantangan, seperti persepsi publik yang negatif terhadap investasi Tiongkok di Indonesia (ISEAS–Yusof Ishak Institute, 2023). Oleh karena itu, diplomasi iklim Indonesia perlu memprioritaskan transparansi dan inklusivitas publik.

Di bawah pemerintahan Presiden Prabowo, Indonesia bertekad untuk mencapai swasembada energi melalui energi terbarukan. Dari kunjungan kenegaraannya, Prabowo juga tampak sangat berkomitmen untuk mengupayakan kerja sama internasional demi mewujudkan target tersebut. Dalam kunjungan kenegaraan pertamanya ke Tiongkok, misalnya, Indonesia dan Tiongkok sepakat untuk memperkuat hubungan bilateral di sektor energi berkelanjutan (Tempo, 2024). Selain itu, melalui menteri luar negerinya, Indonesia juga menyampaikan keinginannya untuk bergabung dengan BRICS (Brazil, Russia, India, China, and South Africa) yang menjadi kelompok ekonomi utama negara-negara berkembang guna mendukung program-program utama Prabowo, seperti ketahanan energi (Reuters, 2024). Keterlibatan ini menunjukkan betapa besar keinginan Indonesia di bawah Prabowo untuk memperkuat kerja sama dengan negara-negara Global South.

Pada tahun 2025, Indonesia dan Tiongkok akan merayakan 75 tahun hubungan diplomatik. Hubungan yang kuat dan telah berlangsung lama antara kedua negara ini dibangun atas semangat Kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation) – sebuah upaya terpadu dari negara-negara berkembang di Global South menuju tujuan bersama. Semangat South-South Cooperation harus didasarkan pada prinsip-prinsip saling menghormati, kesetaraan, dan kemandirian. Dalam konteks transisi energi, semangat ini dapat diarahkan untuk mencapai pembangunan rendah karbon demi kemajuan kedua negara.

Share on :

Leave a comment