Jakarta, 18 September 2024 – ASEAN merupakan suatu wadah kerjasama antar pemerintah (inter-governmental) yang mengusung berbagai isu prioritas. Dalam kepemimpinan Laos di tahun 2024 ini, isu transisi energi masih menjadi salah satu isu prioritas yang kembali diangkat oleh ASEAN. Dekarbonisasi sektor energi, sebagai sektor low hanging fruit, berpotensi memberikan dampak pengganda yang signifikan.
Arief Rosadi, Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR), menyampaikan bahwa secara global sektor energi berkontribusi sebanyak 79 persen dari emisi global. Dalam upaya bersama mencapai target Persetujuan Paris, dunia membutuhkan kapasitas tambahan energi terbarukan sebanyak tiga kali lipat setara 11 terawatt hingga tahun 2030.
ASEAN sebagai kawasan dengan pertumbuhan ekonomi terbesar, memiliki kebutuhan energi yang terus naik. Jika kebutuhan energi yang meningkat ini dipenuhi dengan energi fosil, emisi yang akan dilepaskan ke atmosfer akan semakin besar.
“Dalam konteks kawasan, ASEAN telah menjalin sejumlah kerjasama ekonomi. Kerjasama di bidang energi ini dapat lebih intens dilakukan,” kata Arief dalam forum Diskusi Kelompok Terpumpun bertajuk “Menilai Progres dan Perkembangan Kerjasama Sektor Energi ASEAN: Perspektif Indonesia”, Rabu, 18 September 2024.
Alvin Putra Sisdwinugraha, Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR, menyatakan bahwa sepanjang tahun 2021-2023 beberapa negara ASEAN mencatat pertumbuhan energi terbarukan, khususnya energi surya yang signifikan.
“Terdapat beberapa faktor yang menjadi kunci penambahan energi surya di ASEAN, seperti Filipina yang mengadopsi 600 MW dengan didorong kebijakan net-metering dengan model pasar energi terbuka. Malaysia dengan kebijakan tender besar untuk PLTS utilitas 450 MW. Singapura yang menambah kapasitas energi surya sebesar 442 MW, juga Indonesia yang menambah adopsi energi surya 388 MW, yang didominasi PLTS terapung Cirata,” kata Alvin.
Alvin menambahkan negara-negara Asia Tenggara berpeluang untuk menjadi produsen panel surya. Saat ini kapasitas produksi panel surya di Asia Tenggara mencapai 70 GW. Angka ini merupakan 9-10 persen dari permintaan panel surya global. Fenomena ini dapat dikatakan menjanjikan mengingat 80 persen panel surya global saat ini berasal dari Tiongkok.
Dalam skenario Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2019-2038, terdapat kebutuhan tenaga kerja baru dalam industri panel surya Indonesia, yang didominasi oleh tenaga kerja berketerampilan tinggi (high-skilled labor) untuk bidang riset dan pengembangan (R&D) serta manajerial. Kerjasama dengan lembaga pendidikan untuk desain kurikulum yang sesuai diperlukan untuk menyiapkan kebutuhan tenaga kerja ini.
Shofwan Al Banna Choiruzzad, Associate Professor, Universitas Indonesia mengemukakan pengamatannya terkait sikap negara-negara ASEAN pada komitmen iklim internasional. Dijelaskannya bahwa negara-negara ASEAN memandang penting komitmen iklim, namun belum semua negara anggota ASEAN yang menurunkan pandangan tersebut dalam kerangka kebijakan yang lebih mengikat.
“Saat kita ingin mendorong adanya kebijakan bersama yang bersifat regional ASEAN pun terdapat sejumlah tantangan (gap) seperti, tantangan institusional, perbedaan ambisi, implementasi, dan tantangan partisipasi,” katanya.
Robi Kurniawan, Manajer Program Energi, Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) menjelaskan bahwa kontribusi emisi dari negara-negara dengan ekonomi yang berkembang semakin besar. Maka, transisi menuju net zero emissions tidak terelakkan lagi. Namun, ambisi NZE juga akan membawa dampak sosial ekonomi yang harus dimitigasi.
“Transisi menuju net zero emissions akan membawa dampak pada naik turunnya GDP, energy intensity, dan emission intensity. Untuk memitigasi dampak buruk pada tiga sektor ini, diperlukan mobilisasi pendanaan agar proses transisi berjalan dengan lebih lancar,” kata Robi.
Robi menambahkan dalam hal ajakan kolaborasi pendanaan, sektor swasta masih menghadapi berbagai kendala antara lain kerangka kebijakan, prosedur proyek, periode balik modal, dan aturan tentang jaminan (collateral). Hal ini membuat pendanaan transisi energi masih banyak berasal dari anggaran pemerintah.