Ketenagalistrikan Menjadi Sektor Prioritas Untuk Akselerasi Transisi Energi di Indonesia

Krisis COVID-19 memicu kontraksi yang besar dalam perekonomian dunia, termasuk dalam sektor ketenagalistrikan. Menurut pengamatan Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) yang diluncurkan pada Selasa, 26 Januari 2021, konsumsi listrik selama pandemi yang rendah dan pelemahan rupiah telah membuat PLN merugi. Pendapatan PLN mengalami sedikit peningkatan sekitar 1,4% YoY, namun keuntungan berubah menjadi negatif Rp 12,2 triliun (USD 872,8 juta) pada September 2020. Hal ini sangat kontras dengan laba Rp 10,8 triliun pada kuartal ketiga 2019.

Penyebab lain kerugian PLN adalah kewajiban PLN untuk membeli listrik dari pembangkit listrik yang dimiliki swasta (IPP) dimana sebagian besar merupakan listrik yang dibangkitkan dari PLTU batubara. Kewajiban yang tertuang di Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) PLN dengan IPP ini merupakan salah satu faktor yang membuat investasi PLTU batubara masih terjadi di Indonesia. Namun, pada kondisi permintaan listrik yang rendah karena pandemi ini, PLN masih harus membeli listrik dari PLTU atau jika tidak maka wajib membayar biaya penalti ke IPP. Menurut Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), kewajiban pembelian listrik ini dapat mencapai angka USD 7,8 miliar di tahun 2020. Di sisi lain, pendapatan PLN juga mengalami penurunan dengan turunnya penjualan listrik dan adanya program pembebasan dan diskon listrik yang dicanangkan pemerintah sebagai bagian dari strategi pemulihan ekonomi.

Tentu saja penurunan konsumsi listrik juga berpengaruh pada permintaan batubara sebagai sumber pembangkit listrik utama di Indonesia. Tidak hanya secara domestik, namun juga secara global telah terjadi penurunan permintaan terhadap batubara. Disisi lain, produksi batubara praktis tidak mengalami banyak perubahan. Akibatnya, volume batubara melimpah di pasar ekspor dan impor sehingga menekan harga batubara menjadi anjlok ke level 49,4 USD / ton pada bulan September, level terendah sejak 2015. Di pasar internasional, Indonesia pun terdampak karena 72% batubara Indonesia ditargetkan untuk pasar ekspor pada tahun 2020. Akibatnya pendapatan negara dari sektor batubara mengalami penurunan. Hal ini juga mengindikasikan, bahwa perekonomian Indonesia jika bergantung pada komoditas seperti batubara akan sangat berisiko kedepannya.

Rentannya sektor ketenagalistrikan berbasis batubara terhadap krisis, membuat banyak negara di dunia mulai mengintegrasikan upaya pemulihan ekonominya dengan membangun sistem ketenagalistrikan yang lebih berkelanjutan. Transisi energi menuju energi terbarukan menjadi pilihan karena dapat menghasilkan listrik yang ekonomis, lebih tahan terhadap potensi krisis serta mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan memenuhi Persetujuan Paris untuk menekan kenaikan suhu bumi melebihi 2o C.

Fabby Tumiwa, Eksekutif Direktur IESR, dalam kesempatan yang sama memaparkan analisis International Energy Agency (IEA) dalam laporan World Energy Outlook  yang memberikan skenario mencapai net-zero emission di tahun 2050 sebagai upaya memenuhi target dalam Paris Agreement. Salah satunya ialah mempensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) jenis subkritikal, yang saat ini memproduksi sekitar 5000 TWh listrik per tahun di global, di tahun 2030. Sedangkan jenis PLTU yang lebih efisien (clean coal technology), seperti superkritikal dan ultra superkritikal pun, harus berhenti beroperasi sebelum 2040.

“Hanya saja, pola pikir lama yang terlalu mengandalkan batubara, membuat banyak orang akan coba membantah skenario ini di Indonesia dengan berbagai alasan seperti pertama, lebih dari 3/4 kapasitas PLTU di Indonesia masih memiliki usia ekonomis, biaya pokok pembangkitan (BPP) listrik yang akan naik menimbang biaya pembangkitan listrik energi terbarukan yang masih dianggap lebih mahal ketimbang fosil serta sifat intermintensinya,” ulasnya.

Buktinya, menurut menurut Fabby, ada negara yang bisa menyediakan listrik yang handal dengan keekonomian yang baik dengan bauran energi terbarukan yang lebih besar, bahkan tanpa PLTU. 

“Pertumbuhan ekonomi juga akan menjadi lebih baik karena bisa meningkatkan tenaga kerja dan menumbuhkan lapangan kerja baru. Masalahnya pemerintah belum membuat desain dan strategi kebijakannya. Pemerintah, misalnya, dapat mengalihkan subsidi listrik yang saat ini mencapai lebih dari 50 triliun ke pemasangan PLTS atap. Pemerintah dapat memasang PLTS atap di konsumen PLN yang berdaya listrik 450-900 VA yang masih disubsidi. Bila dipraktekkan di satu juta rumah maka subsidi itu dapat berubah menjadi 1 GW energi terbarukan,”jelasnya.

Perkuat Komitmen Politik Pemerintah dan Regulasi Pendukung Energi Terbarukan

Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI ini sepakat bahwa peningkatan bauran energi terbarukan harus menjadi prioritas dalam kebijakan pemerintah, termasuk dalam wacana untuk meninjau kembali Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

“Revisi RUEN seharusnya bukan merevisi target 23% energi terbarukan, namun yang harus diperbaiki adalah porsi minyak, gas, dan batu bara. Langkah yang dapat diambil adalah renegosiasi dan penjadwalan ulang (rescheduling) proyek-proyek PLTU, terutama yang 35 GW, yang saat ini dalam proses perencanaan.”

Sugeng sepakat, bahwa sebagai negara yang taat konstitusi, Indonesia harus taat pada Persetujuan Paris yang sudah diratifikasi dalam UU No 16/2016.

Di lain pihak, Satya Widya Yudha, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Perwakilan Industri melihat transisi energi tergantung pada komitmen politik DPR dan pemerintah, terutama dalam menentukan arah skenario.

“Harus ada skenario yang pasti dalam transisi energi, antara moderat atau radikal. Tentu saja kebijakannya harus memperhatikan realitas,” sarannya.

Satya juga mengulas bahwa di Indonesia, pengelolaan sumber daya alam tidak didanai oleh APBN melainkan pada investasi, sehingga pemerintah perlu membuat kebijakan yang ramah investasi dari swasta.

Mengutip laporan IRENA, Sugeng mengungkapkan bahwa investasi besar saat ini terpusat pada energi bersih sekitar USD 13.3 triliun. Oleh karena itu, kebijakan yang mendukung pembangunan energi terbarukan di dalam negeri dapat menjadi peluang menarik investasi tersebut sehingga mendukung pertumbuhan ekonomi di masa depan.

“Intinya dari berbagai riset di dunia, energi terbarukan menjadi pintu masuk pasca COVID-19 dan bangkit secara ekonomi,” imbuh Sugeng.

IESR dalam laporan IETO 2021, memberikan arahan yang jelas bagi pembuat kebijakan dalam mengukur kesiapan bertransisi energi dengan memperkenalkan Kerangka Kesiapan Transisi (Transition Readiness Framework), khususnya untuk sistem ketenagalistrikan. Pada kerangka kesiapan transisi tersebut, IESR telah mengidentifikasi permasalahan yang ada dalam empat dimensi utama, yaitu dimensi politik dan regulasi, investasi dan pendanaan, tekno-ekonomik, dan sosial.

“Dua hal yang paling prioritas untuk diperkuat adalah komitmen politik pemerintah khususnya Presiden Jokowi dan kementerian terkait untuk transisi energi dan mengesahkan kerangka regulasi yang diikuti dengan implementasi yang tepat di sektor kelistrikan,” jelas Deon Arinaldo, penulis utama Laporan IETO 2021.

Laporan IETO 2021 – yang merupakan transformasi dari flagship report IESR selama 3 tahun terakhir yaitu Indonesia Clean Energy Outlook –  diluncurkan untuk melacak dan mengukur perkembangan transisi energi di Indonesia dan memberikan kerangka ekosistem pendukung yang memampukan transisi energi di Indonesia terjadi secara cepat. Dilakukan secara daring, peluncuran laporan IETO 2021 melibatkan Satya Widya Yudha, Anggota DEN Perwakilan Industri, Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI, Moekti P Soejachmoen, Chief Economist PT Danareksa (Persero) dan Tanah Sullivan, Head of Sustainability PT. Gojek Indonesia, sebagai panelis.

 

Share on :

Leave a comment