Jakarta, 14 April 2022 – Konflik militer yang melibatkan Rusia dan Ukraina masih terus berlangsung hingga saat ini. Sejumlah dampak langsung maupun tidak langsung mulai dirasakan sejumlah negara, terutama negara-negara Eropa sebab Rusia merupakan salah satu pemasok utama gas dan minyak untuk sejumlah negara Eropa.
Sikap politik Rusia yang terus melancarkan aksi militer membuat negara ‘pembeli’ minyak dan gas Rusia berada dalam dilema. Jika mereka tetap membeli minyak dan gas dari Rusia secara tidak langsung mereka ikut mendanai perang. Jika mereka tidak membeli minyak dan gas tersebut, ketahanan energinya terancam. Gas dan minyak yang tersedia saat ini pun harganya sudah melonjak yang berarti biaya yang harus dikeluarkan lebih tinggi.
Apakah situasi perang Rusia – Ukraina ini akan berdampak pada Indonesia? Proyek Clean, Affordable, and Secure Energy for Southeast Asia (CASE), menggelar diskusi publik bertajuk “The Geopolitics of Energy Transition” untuk melihat dampak perang Rusia- Ukraina pada sistem energi global dan pembelajaran bagi transisi energi Indonesia.
Fabian Hein, analis skenario dan statistik energi, Agora Energiewende menjelaskan bahwa saat ini negara-negara Uni Eropa seperti Jerman, sedang berusaha untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil terutama gas.
“Terdapat dua pendekatan untuk mengatasi krisis ini. Pertama pendekatan jangka pendek dengan mengganti gas dengan batubara dan minyak. Kedua rencana strategis jangka panjang dengan memperbesar kapasitas energi terbarukan dalam sistem energi,” Fabian menjelaskan.
Ketergantungan pada energi fosil bukan hanya terjadi pada Jerman, atau negara-negara Uni Eropa. Indonesia pun memiliki ketergantungan besar pada energi fosil baik untuk pembangkitan energi listrik maupun bahan bakar minyak untuk sektor transportasi.
Widhyawan Prawiraatmadja, dosen SBM ITB, memperingatkan Indonesia untuk cermat dalam melihat dan menyikapi isu geopolitik ini.
“Persoalan krisis energi saat ini bukan hanya ketidakseimbangan antara supply-demand, namun ada faktor lain yaitu perang sehingga harga komoditas energi menjadi fluktuatif dan dalam konteks Indonesia pemerintah ada dalam pilihan sulit antara memberi subsidi lebih banyak atau menaikkan harga energi seperti BBM,” Widhyawan menjelaskan.
Pilihan pemerintah Indonesia untuk mempertahankan porsi energi fosil bahkan memberi subsidi melalui berbagai kebijakan semakin tidak relevan di waktu-waktu ini. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa, menyatakan bahwa pelajaran yang dapat diambil dari dampak konflik Rusia-Ukraina utamanya pada negara Eropa adalah ketergantungan pada satu komoditas adalah suatu ancaman bagi ketahanan energi suatu wilayah.
“IEA juga mengkritik bahwa negara-negara Eropa gagal mengimplementasikan prinsip pertama dari ketahanan energi yaitu variasi suplai. Selain bergantung pada satu jenis komoditas, Eropa juga sangat bergantung pada satu negara sebagai pemasok, hal ini rentan untuk keamanan pasokan energi disana,” katanya.
Fabby melanjutkan, bahwa konflik Rusia-Ukraina memiliki dampak global yang signifikan pada pengembangan energi. Energi terbarukan lebih bersifat resilien dalam hal harga dan pasokan karena sifatnya yang lokal. Maka mengembangkan energi terbarukan di Indonesia semakin menjadi kebutuhan di masa depan untuk menjamin ketahanan energi.