JAKARTA (IFT) – PT PLN (Persero), badan usaha milik negara di sektor kelistrikan, memperkirakan realisasi konsumsi bahan bakar minyak yang digunakan untuk pembangkit listrik yang dikelola perseroan sepanjang tahun ini akan meningkat dari estimasi awal 8,8 juta kiloliter menjadi 9,8 juta kiloliter, menurut eksekutif perseroan. Kenaikan konsumsi bahan bakar minyak itu seiring peningkatan konsumsi listrik di masyarakat.
M Suryadi Mardjoeki, Kepala Divisi Gas dan Bahan Bakar Minyak PLN, mengatakan kenaikan konsumsi listrik karena tambahan pelanggan baru dan banyaknya pelanggan yang menambah daya. Hingga semester I 2011, total pelanggan PLN mencapai 44 juta pelanggan atau bertambah dua juta pelanggan dari jumlah pelanggan PLN hingga akhir tahun lalu.
Dari total 44 juta pelanggan tersebut, sekitar 78,7% atau sekitar 40,8 juta pelanggan rumah tangga. Sisanya, sebanyak 49.428 pelanggan industri, pelanggan bisnis 1,98 juta, pelanggan sosial 934.871, pemerintahan 116.931, dan jalan umum 130.001.
“Kenaikan jumlah pelanggan tersebut karena perseroan menerapkan kebijakan untuk melayani seluruh permintaan sambungan listrik baru dari masyarakat,” kata Suryadi, Senin.
Suryadi menjelaskan saat ini perseroan mendapatkan pasokan minyak dari sejumlah perusahaan, yaituPT Pertamina (Persero), PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), PT AKR Corporindo (AKRA), dan PT Shell Indonesia.
Pertamina merupakan pemasok bahan bakar minyak terbesar ke PLN, yaitu sebesar 7,5 juta kiloliter atau sekitar 76,5% dari total kebutuhan bahan bakar minyak perseroan. Pasokan bahan bakar minyak dari Pertamina tersebut terdiri atas dua jenis pembelian, yakni melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar 6,8 juta kiloliter dan lelang terbuka sebesar 700 ribu kiloliter.
“Harga pembelian bahan bakar minyak melalui Anggaran itu menggunakan formula harga MOPS (Mid Oil Platts of Singapore) plus 5% di 13 lokasi. Sedangkan untuk 20 wilayah yang lokasinya jauh memakai formula harga MOPS plus 9%,” ujarnya.
Sedangkan pembelian dari Pertamina melalui lelang, harganya lebih murah karena menggunakan formula harga MOPS plus 2%-3%. Bahan bakar minyak dari hasil lelang tersebut, sebanyak 500 ribu kiloliter didistribusikan ke pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU) Muara Karang dan PLTGU Tanjung Priok. Sisanya, sebesar 200 ribu kiloliter dialokasikan untuk pengoperasian dua pembangkit PLN di Gresik dan Grati, Jawa Timur.
Dalam tender yang digelar PLN tahun lalu, PLN juga telah menunjuk Trans-Pacific sebagai pemasok 500 ribu kiloliter bahan bakar minyak untuk pembangkit Belawan, Sumatera Utara dan Tambak Lorok, Jawa Tengah. Sedangkan AKR Corporindo memasok bahan bakar minyak di untuk wilayah Kalimantan dengan volume di bawah 100 ribu kiloliter. “Shell hanya sisa kontrak, tapi saya lupa berapa angkanya,” kata Suryadi.
Belanja Bahan Bakar
Menurut perhitungan Departemen IFT, PLN diproyeksikan mengeluarkan dana sebesar Rp 83,3 triliun untuk pembelian bahan bakar minyak sebanyak 9,5 juta kiloliter sepanjang tahun ini. Jika perseroan bisa mempertahankan konsumsi bahan bakar minyak sesuai estimasi awal sebesar 8,8 juta kiloliter, PLN akan menghabiskan dana Rp 74,8 triliun. Perhitungan itu dengan menggunakan asumsi rata-rata harga beli bahan bakar minyak berdasarkan informasi dari PLN sebesar Rp 8.500 per liter.
Fabby Tumiwa, pengamat kelistrikan dari Institute for Essential Services Reform Indonesia, menyebutkan pembengkakkan konsumsi bahan bakar minyak di pembangkit PLN sudah diprediksikan sejak awal. Selain adanya penambahan jumlah pelanggan, menurut Fabby, kenaikan konsumsi bahan bakar minyak tersebut juga disebabkan adanya kebijakan listrik bebas padam di seluruh Tanah Air. Kondisi ini diperparah dengan terlambatnya pengoperasian pembangkit listrik tenaga uap yang masuk dalam proyek 10 ribu megawatt dan sulitnya PLN mendapatkan pasokan gas untuk pembangkitnya, sehingga PLN harus mengoperasikan pembangkit-pembangkit berbahan bakar minyak miliknya.
“Saya memproyeksikan dampak dari kenaikan konsumsi bahan bakar minyak itu akan membuat subsidi listrik naik Rp 8 triliun-Rp 9 triliun,” ungkap dia.
Pemerintah mengalokasikan subsidi listrik dalam Anggaran Perubahan 2011 sebesar Rp 66,33 triliun. PLN mencatat realiasi penyerapan subsidi listrik hingga semester I 2011 sebesar Rp 40,86 triliun atau naik 47% dari realisasi subsidi listrik pada periode yang sama tahun lalu sekitar Rp 27,79 triliun. Kenaikan subsidi listrik tersebut didorong oleh kenaikan pengeluaran untuk pembelian bahan bakar dan pelumas sebesar Rp 58,03 triliun atau naik 45,5% dari realisasi pada periode yang sama tahun lalu Rp 39,9 triliun.
Fabby menyarankan pemerintahmelakukan evaluasi terhadap perencanaan penyediaan pasokan listrik yang menjadi program pemerintah seperti proyek 10 ribu megawatt tahap pertama. Tidak hanya program pemerintah, program-program yang dibuat PLN, seperti Gerakan Sejuta Sambungan dan Indonesia Bebas Padam, juga perlu dievaluasi.
“Itu harus dievaluasi agar pemerintah dan PLN tidak seenaknya bikin program. Dengan model kebijakan memenuhi kebutuhan listrik dengan bahan bakar minyak itu menurut saya sangat tidak bijaksana karena pemerintah dan publik harus menanggung dampak dari kebijakan itu,” ujarrnya.
Dia juga meminta pemerintah segera menyesuaikan tarif dasar listrik untuk menekan besaran subsidi dalam Anggaran. Pemerintah harus bisa meyakinkan Dewan Perwakilan Rakyat untuk menyetujui rencana kenaikan tarif listrik tahun depan dengan memaparkan fakta-fakta di lapangan.
“Dalam mengajukan usulan kenaikan tarif dasar listrik, pemerintah sebaiknya tidak menggunakan kenaikan rata-rata 10%. Jangan memainkan publik. Padahal, kenyataannya ada yang naik 30%-40%,” kata Fabby.
Dito Ganinduto, anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat, menyarankan PLN mengubah sistem bauran energi di pembangkit dengan menggunakan energi primer yang murah untuk menurunkan biaya pokok produksi listrik. Dia juga meminta PLN meningkatkan koordinasi dengan pemerintah agar dapat memperoleh tambahan pasokan gas.
“Kebutuhan listrik memang naik karena memang didorong pertumbuhan ekonomi. Tapi pemenuhannya tidak harus dengan menaikkan konsumsi bahan bakar minyak, harus ada extra effortdari direksi PLN untuk menyediakan energi primer yang murah untuk pembangkitnya,” katanya.
Jika PLN tidak dapat memenuhi kebutuhan energi primer yang murah, subsidi listrik akan selalu melebihi kuota dalam Anggaran seperti tahun-tahun sebelumnya.
Rinaldy Dalimi, anggota Dewan Energi Nasional, menyatakan peningkatan konsumsi bahan bakar minyak karena PLN kesulitan mencari gas, sementara PLN memiliki kebijakan melayani seluruh permintaan pelanggan. “Jadi, perlu ada langkah yang terintegrasi di antara badan usaha milik negara, yaitu PLN, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS), PT Bukit Asam Tbk, dan Pertamina,” ujarnya.
Nur Pamudji, Direktur Energi Primer PLN, menyebutkan konsumsi bahan bakar minyak pada semester I 2011 meningkat menjadi 5,64 juta kiloliter dari 4,76 juta kiloliter pada semester I 2010. Realisasi produksi pembangkit listrik dengan bahan bakar minyak tercatat mencapai 20,8 terawatt hour pada semester I 2011, naik 21% dibandingkan periode yang sama tahun lalu 17,1 terawatt hour.
Berdasarkan data PLN, konsumsi batu bara untuk pembangkit perseroan mencapai 19 juta ton hingga semester I 2011 atau naik 13,63% dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 16,72 juta ton. Nur mengatakan kenaikan konsumsi itu terkait beroperasinya sejumlah pembangkit listrik tenaga uap dalam proyek 10 ribu megawatt tahap I.
“Penggunaan batu bara pada semester II 2011 akan semakin meningkat karena pembangkit dalam proyek 10 ribu megawatt I akan beroperasi penuh,” ujar Nur.
Satya W Yudha, anggota Komisi VII Dewan PErwakilan Rakyat, meminta PLN untuk tidak menghambat pelaksanaan beberapa proyek untuk mengonversi pemakaian bahan bakar minyak ke batu bara dan gas.
Dia menyebutkan saat ini banyak pembangkit listrik tenaga uap milik PLN yang sudah dan akan beroperasi tapi tidak dapat menggunakan spesifikasi batu bara yang ada di Indonesia. Ini membuat konsumsi bahan bakar tetap tinggi dan jatah batu bara yang dialokasikan pemerintah untuk PLN juga tidak terserap, sehingga PLN harus mengimpor batu bara untuk pengoperasian pembangkitnya.
“Ke depan, PLN harus mulai menyesuaikan mesin pembangkitnya dengan jenis batu bara yang ada di Indonesia. Walaupun dampaknya tidak dirasakan sekarang, tapi ini harus mulai dilakukan,” ungkapnya.
Satya juga meminta kepada PLN untuk mengembangkan pembangkit dengan bahan bakar energi terbarukan barukan salah satunya dengan menggalakkan pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro. (*)
Sumber: Indonesia Finance Today.