Jakarta, 27 April 2021 – Indonesia dapat menjaga bumi dari emisi karbon dengan mendorong percepatan pengembangan energi terbarukan. Desakan agar pemerintah lebih yakin, berani dan ambisius untuk mengembangkan energi bersih disuarakan dalam Diskusi dan Peluncuran soft launching buku berjudul “Jejak dan Langkah Energi Terbarukan Indonesia” yang ditulis oleh Tim Kompas. Acara ini diselenggarakan atas kerjasama Harian Kompas dengan Institute for Essential Services Reform (IESR) (27/4).
Sutta Dharmasaputra, Pemimpin Redaksi Harian Kompas, mengatakan bahwa kebijakan editorial Harian Kompas mendukung percepatan energi terbarukan. Menurutnya, naiknya suhu bumi saat ini disebabkan penggunaan energi fosil sehingga akselerasi energi terbarukan akan mampu menjaga suhu bumi di tidak melebihi 2 derajat celcius.
“Bencana meteorologis di Indonesia selama satu tahun membawa kerugian sebesar 22,3 triliun rupiah. Saya iseng menghitung bila uang sebesar itu digunakan untuk membeli nasi padang, maka setara dengan 639 juta boks nasi padang. Sangat rugi sekali,”tegasnya.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam kesempatan yang sama menuturkan bahwa makin tahun, krisis iklim akan menjadi lebih serius.
“Kajian para ahli menyatakan bahwa kalau temperatur global naik lebih dari 1,5 derajat implikasinya sangat luas terhadap ekosistem, produksi pangan, dan ekonomi secara keseluruhan,”urainya.
Transisi energi menjadi pilihan yang harus diambil oleh para pembuat kebijakan untuk menurunkan emisi rumah kaca. Sistem energi fosil berkontribusi pada 75 persen GRK di seluruh dunia. Persetujuan Paris bahkan mengamanatkan seluruh negara di dunia untuk mengembangkan energi terbarukan untuk mencapai netral karbon di tahun 2050.
“Hal ini berarti, saat ini, target NDC kita tidak compatible dengan Persetujuan Paris. Kalau ingin compatible emisi, maka kita harus mencapai puncak (peak emission) pada 2030 dan harus turun drastis sampai 2050. Jika terlambat maka upaya yang dilakukan menjadi lebih berat dan akan lebih mahal,” ungkapnya.
IESR telah merampungkan sebuah pemodelan netral karbon Indonesia di tahun 2050 yang menunjukan bahwa Indonesia mampu mencapai net zero pada tahun 2050. Bahkan dengan menggunakan 100% energi terbarukan, biaya sistem energi akan menjadi lebih murah dibandingkan dengan sistem yang berbasis energi fosil.
“Sektor listrik merupakan quick win karena pengembangan energi terbarukan di sektor ini bisa lebih cepat dibanding industri dan transportasi. Tentu saja, kebijakan transisi energi merupakan sesuatu yang membutuhkan banyak inovasi, perubahan regulasi, dan cara pandang kita melihat sumber daya energi yang kita miliki. Namun, jika kita bisa melakukan 100% energi terbarukan maka akan tercipta 3,2 juta lapangan kerja baru,” tegas Fabby.
Senada dengan Fabby, ketua tim penulis, Aris Prasetyo, menjabarkan bahwa pengembangan energi terbarukan dengan mendorong transisi energi adalah suatu yang pasti akan terjadi. Ia juga menceritakan tentang kemandirian energi yang ia temui saat kunjungannya ke Desa Kamanggih di Kecamatan Kahaungu Eti di Sumba Timur.
“Masyarakatnya sudah mandiri energi. Listriknya dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) bahkan kelebihannya dijual ke PLN. Untuk memasak, mereka menggunakan biogas dari kotoran ternak. Namun saat terjadi pandemi, ternyata pelanggan PLTMH tidak dapat diskon tarif listrik artinya sesuatu yang bersih dan mendukung program pemerintah dan adaptasi perubahan iklim tidak ada dukungan, sementara untuk program yang bergantung pada energi fosil mendapat insentif,” tuturnya.
Aris juga menambahkan bahwa ketimpangan kebijakan juga terjadi di skala industri, terutama dalam hal masalah tarif jual beli tenaga listrik dari energi terbarukan. Menurutnya, bahkan bagi pengembang sendiri, tarif yang ditawarkan PLN tidak ekonomis karena biaya produksinya lebih tinggi. Sedangkan untuk kebijakan tarif energi terbarukan, Perpresnya tidak kunjung keluar.
Menyoal mengenai kebijakan energi terbarukan, Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI, bertekad untuk menyelesaikan UU mengenai energi terbarukan. Meskipun menurutnya banyak kepentingan yang tidak mendukung kemunculan UU ini.
“Padahal keberadaan UU ini akan menciptakan ekosistem yang mendukung pengembangan EBT,” imbuh Sugeng.
Di lain pihak Satya Widya Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional memandang bahwa membangun ketahanan energi, pemerintah harus memastikan keamanan pasokan, mudah diakses, affordability kaitannya dengan kemampuan dan environmentally friendly.
“Jika kita berbicara keekonomian, maka energi terbarukan yang dapat dikembangkan lebih jauh adalah PLTS. PLTS sedang kita pompa besar-besaran,”ujarnya.