Shanghai, 12 Juni 2025 – Pemerintah Indonesia menyatakan komitmennya dalam mempercepat transisi menuju industri rendah karbon melalui pemaparan strategi nasional pada forum SNEC International Energy Storage and Hydrogen Technology Conference yang berlangsung di Shanghai, Tiongkok pada Kamis (12/6). Forum ini menjadi bagian dari rangkaian kegiatan 75 Years Indonesia–China Exchange Visit, yang diselenggarakan dari 10-14 Juni 2025. Kegiatan ini merupakan inisiatif Institute for Essential Services Reform (IESR) dengan dukungan Kedutaan Besar Indonesia di Beijing, BRIGC, WRI China, dan CREIA bertujuan untuk memperkuat hubungan bilateral antara Indonesia dan China, dengan fokus pada pengembangan energi bersih dan transisi energi yang berkelanjutan.
Direktur Ketahanan dan Iklim Usaha Industri Kementerian Perindustrian, Binoni Tio Arisandi Napitupulu menyatakan untuk mendukung skenario pertumbuhan Asta Cita 2025–2029, sektor industri non-migas ditargetkan tumbuh hingga 8 persen dengan kontribusi sebesar 21,9 persen terhadap PDB nasional. Hal ini tidak hanya membutuhkan hilirisasi sumber daya alam, tetapi juga transformasi industri ke arah rendah karbon. Terlebih Indonesia juga telah meratifikasi Kesepakatan Paris dan berkomitmen mencapai emisi nol bersih (Net Zero Emission, NZE) pada 2060.
“Beberapa langkah telah kami siapkan untuk mendukung pengembangan industri ramah lingkungan seiring target Asta Cita tersebut. Misalnya saja melalui penguatan industri panel surya domestik yang saat ini memiliki kapasitas produksi mencapai 4.384 MWp dengan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) 40–55 persen,” ujar Binoni.
Lebih lanjut, Binoni mengatakan, pihaknya juga tengah menyusun strategi dekarbonisasi sektor industri melalui dua pendekatan utama: peta jalan dekarbonisasi dan penguatan regulasi kawasan industri hijau (Eco Industrial Park, EIP). Peta jalan dekarbonisasi ini difokuskan pada sembilan kelompok industri prioritas yang berkontribusi besar terhadap emisi karbon nasional, yaitu semen, pupuk, logam, pulp dan kertas, tekstil, kimia, keramik dan kaca, makanan dan minuman, serta peralatan transportasi.
“Sementara untuk penguatan regulasi kawasan industri hijau, kami mengadopsi konsep EIP yang secara resmi telah dimuat dalam Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2024, Pasal 79. EIP adalah kawasan industri yang mengintegrasikan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam proses perencanaan, pembangunan, dan pengelolaan kawasan. Tujuan utamanya adalah meningkatkan kinerja ekonomi industri melalui minimisasi dampak lingkungan,” tegas Binoni.
Menurut Binoni, terdapat empat aspek utama yang menjadi fokus dalam pengelolaan EIP meliputi manajemen kawasan industri, manajemen lingkungan, aspek sosial dan ekonomi. Dalam pelaksanaannya, kata Binoni, terdapat lima pendekatan utama yang digunakan yakni desain infrastruktur hijau, produksi bersih, pencegahan polusi, efisiensi sumber daya (air dan energi), dan kemitraan antar perusahaan.
“Kami juga tengah menyusun Peraturan Menteri tentang EIP yang mencakup indikator, verifikasi, pelaporan, serta skema insentif bagi pengelola dan tenant kawasan industri yang mengadopsi prinsip-prinsip hijau. Dengan pendekatan komprehensif ini, Pemerintah Indonesia menunjukkan keseriusannya dalam mentransformasi struktur industri nasional menjadi lebih ramah lingkungan tanpa mengorbankan produktivitas. Integrasi antara strategi dekarbonisasi dan EIP diharapkan menjadi model berkelanjutan yang dapat direplikasi di seluruh wilayah Indonesia, sekaligus menarik investasi hijau dan memperkuat daya saing ekspor nasional,” paparnya.