Oleh: Fabby Tumiwa (Direktur IESR)
Baru-baru ini, Dirut PLN, Dahlan Iskan melontarkan ide: listrik gratis untuk orang miskin. Tulisan ini membahas kebijakan serupa yang diterapkan di Afrika Selatan, dan perhitungan kasar terhadap biaya yang ditimbulkan dari kebijakan ini, serta dampaknya pada opsi kenaikan tarif dasar listrik yang sedang dibahas antara eksekutif dan DPR.
Akhir pekan kemarin, 12 Juni 2010, saya diundang sebagai panelis pada acara media briefing yang diadakan Forum Wartawan Ekonomi dan Moneter (FORKEM) dan Kantor Menko Perekonomian, bertema: Dampak Kenaikan TDL pada Industri dan Ekonomi Indonesia Indonesia 2010. Selain saya dan Deputi Menko bidang Perindustrian, bintang dari acara ini adalah Dahlan Iskan, Direktur Utama PLN.
Sebagai biasa, Dahlan berbicara secara lugas, tanpa teks dan mengalir. Yang menarik adalah di penghujung sesi diskusi, dalam menjawab pertanyaan seorang wartawan, Dahlan “ngedumel” bahwa saat wacana TDL akan dinaikan muncul, PLN selalu menjadi sasaran tembak dan kemarahan masyarakat, tidak terkecuali dari anggota DPR. Menurut Dahlan, urusan naik atau tidaknya TDL adalah urusan eksekutif dan DPR. Seyogyanya PLN tidak ada urusan dengan itu. Bagi dia tugas PLN adalah memberikan pelayanan listrik, yang terpenting adalah listrik menyala dan untuk itu ongkosnya seyogyanya ditanggung pemerintah. Dahlan menyatakan bahwa dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII anggota DPR menolak kenaikan TDL karena dianggap memberatkan orang miskin. Menanggapi wacana “orang miskin” inilah, Dahlan kemudian melontarkan ide listrik gratis bagi orang miskin, yang selama ini dipakai sebagai jargon oleh komisi VII DPR.
Saya pun agak terkejut dengan lontaran ide yang populis ini. Sudah sejak 2008, IESR (Institute for Essential Services Reform) berkampanye untuk meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan energi (energy services), salah satunya adalah listrik melalui kampanye Energy Services for All, tetapi tidak sekalipun terlintas untuk mengadvokasi untuk mendorong pemberian listrik gratis bagi orang miskin. Terus terang, ide Dirut PLN ini membuat saya berpikir bagaimana kira-kira ini diimplementasikan.
Saya teringat, bahwa ide ini tidak sepenuhnya orginal dari Dahlan Iskan. Afrika Selatan sudah menjalankan listrik gratis untuk orang miskin lewat kebijakan Free Basic Electricity sejak tahun 2001. Kebijakan ini memberikan listrik gratis sebesar 50 kiloWatt-hour (kWh) setiap bulannya kepada rumah tangga yang masuk dalam kriteria “miskin”. Angka ini didapat dari rata-rata konsumsi listrik bulanan 54 persen sambungan rumah tangga tahun 2000 lalu. Dengan kebijakan ini, rakyat miskin tidak perlu takut bahwa mereka tidak mendapatkan listrik, setidaknya dengan penggunaan listrik untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar yaitu penerangan, dan informasi, serta memasak, akses listriknya dijamin oleh negara. Jika pemakaian listriknya diatas kuota tersebut, maka mereka pun harus membayar sesuai dengan tarif yang ditetapkan secara berundak. Hal ini untuk mencegah terjadinya prilaku boros dalam menggunakan listrik.
Mungkinkah ide listrik gratis diterapkan di Indonesia? Mungkin saja dengan prinsip bahwa biaya yang ditimbulkan harus dibebankan kepada pelanggan lain. Selain itu diperlukah kehati-hatian terhadap beberapa hal: pertama, sasaran masyarakat miskin, kedua, batasan kuota listrik gratis yang terkait dengan skema kenaikan TDL sebagai imbas, dan biaya dan manfaat yang ditimbulkan dari kebijakan populis ini.
Untuk yang pertama, kebijakan ini harus menjangkau masyarakat miskin dan perdesaan yang selama ini tidak terjangkau atau menjangkau akses listrik, tidak hanya terbatas pada mereka yang telah memilki sambungan listrik dari PLN. Untuk golongan ini, pemerintah harus mengalokasikan dana sebagai pengganti dana untuk sambungan baru dan instalasi dalam rumah, sehingga membebaskan masyarakat miskin dari beban membayar biaya sambungan dan instalasi yang berkisar antara 1-1,5 juta per unit pasang. Selain itu perlu juga disediakan dana tambahan untuk membangun infrastruktur tenaga listrik. Dengan menggunakan data penduduk miskin 2007 dari BPS, sebesar 37 juta, maka diperkirakan rumah tangga miskin sebesar 7,4 juta. Dengan asumsi seluruh rumah tangga ini tidak terjangkau listrik, maka dana untuk penyambungan dan instalasi yang perlu disediakan mencapai 7,4 – 11,1 triliun rupiah, ditambah biaya untuk membangun jaringan. Ini dengan asumsi bahwa seluruh rumah akan terkoneksi ke jaringan distribusi listrik PLN, dan belum memperhitungkan biaya untuk menambah pasokan tenaga listrik.
Adapun mengenai kuota listrik gratis dapat menggunakan informasi dari berbagai studi yang pernah dilakukan. Sejumlah studi yang pernah dilakukan mengindikasikan bahwa rumah tangga miskin mengkonsumsi rata-rata 30-50 kWh per bulan. Saya akan menyarankan agar untuk program listrik gratis diuji cobakan dengan menggunakan kuota 30 kWh per bulan. Dari perhitungan ini, maka pendapatan PLN akan berkurang kira-kira 0.7 triliun rupiah per bulan atau 8.4 triliun per tahun, dengan asumsi BPP tenaga listrik Rp. 1300/kwh.
Dengan menggunakan prinsip burden sharing dan subsidi silang, jika kemudian rata-rata TDL untuk golongan rumah tangga non R1-450 dinaikkan 50%, sehingga tarif rata-rata-nya menjadi 880/kWh, maka PLN akan menerima tambahan pendapatan dari golongan pelanggan rumah tangga sebesar 12-13 triliun rupiah per tahun. Dengan demikian, ada selisih rata-rata sebesar 3.6-4.6 triliun. Simulasi secara kasar menunjukkan bahwa untuk menyeimbangkan biaya yang ditimbulkan dari kebijakan listrik gratis, diperlukan kenaikan TDL untuk golongan rumah tangga non R1-450 diatas 35% dari tarif rata-rata golongan rumah tangga (R1-R3) saat ini.
Wacana listrik gratis untuk orang miskin masih perlu dikaji lebih dalam, dan dipelajari implikasinya hingga benar-benar matang untuk diterapkan. Yang penting untuk saat ini bukanlah wacana populis, tetapi eksekutif dan DPR perlu menyepakati opsi penyesuaian TDL yang terbaik bagi rakyat Indonesia, tetapi tetap melindungi akses listrik masyarakat miskin. Reformasi kebijakan subsidi listrik sesuai dengan prinsip dan kaidah yang wajar, adalah langkah awal untuk memberikan listrik gratis yang berkelanjutan bagi rakyat miskin.
Fabby Tumiwa- penulis adalah Direktur IESR (Institute for Essential Service Reform) dan juga analis dan pemerhati masalah energi dan tata kelola kelistrikan di Indonesia.