Energi dan pembangunan memiliki korelasi yang kuat. Sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, penyediaan energi merupakan salah satu tantangan terbesar bagi Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Dewan Energi Nasional (DEN) memperkirakan kebutuhan energi diperkirakan akan mencapai 400 juta ton setara minyak dan pemanfaatan energi primer per kapita sebesar 1.4 juta ton setara minyak pada tahun 2025, dan 1000 juta ton setara minyak, dan pemanfaatan energi primer per kapita sebesar 3.4 juta ton setara minyak pada tahun 2050.
Tantangan lainnya adalah peningkatan akses energi, dimana rasio elektrifikasi Indonesia di tahun 2012 baru mencapai 75,83%. Pada saat yang bersamaan, sekitar 42,46% dari penduduk Indonesia masih menggunakan kayu bakar. Untuk mengatasi hal tersebut, Indonesia telah menetapkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi di tahun 2025 sebesar 25%, sedangkan target konservasi energi di tahun 2025 adalah 18% berdasarkan business as usual, sebagaimana yang diusulkan Kebijakan Energi Nasional.
Pembangunan infrastruktur penyediaan energi tidak dipungkiri membutuhkan biaya yang besar. Kebutuhan pendanaan ini dapat ditutup dari sumber-sumber pendanaan publik maupun swasta atau kombinasi keduanya. Kebutuhan atas pendanaan ini dapat diketahui dengan memperhitungkan kebutuhan pendanaan untuk pengembangan energi berkelanjutan, identifikasi terhadap sumber-sumber pendanaan yang tersedia, serta gap dari kebutuhan pendanaan tersebut.
Sehubungan dengan hal di atas, WWF Indonesia bekerjasama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR) dengan dukungan NORAD, mengadakan sebuah lokakarya mengenai pendanaan energi berkelanjutan di Indonesia tanggal 21 Mei 2013 yang lalu bertempat di Hotel Borobudur, Jakarta. Lokakarya ini bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan pendanaan dari pengembangan energi berkelanjutan di Indonesia, mengidentifikasi sumber-sumber serta mekanisme pendanaan energi berkelanjutan yang sudah ada dan sedang berjalan di Indonesia, baik dari sumber dana publik (APBN/APBD), swasta, maupun donor. Diharapkan juga, melalui lokakarya ini dapat mengidentifikasi hambatan dan tantangan, serta kerangka kebijakan yang diperlukan untuk memobilisasi pendanaan untuk energi bersih.
Lokakarya ini diawali dengan presentasi dari Bapak Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), yang memaparkan mengenai isu dan tantangan dari pembiayaan energi berkelanjutan di Indonesia. Beberapa hal yang dipaparkan oleh Bapak Fabby adalah:
- Pendanaan untuk energi berkelanjutan di Indonesia cukup banyak di periode tahun 1980-2000an. Tahun 2000an, jenis pendanaan bahkan berevolusi menjadi pembiayaan oleh pemerintah, dan beberapa jenis lainnya, seperti pasar karbon.
- Kenyataan lainnya adalah dana hibah dan soft loan dari sumber-sumber multilateral dan bilateral semakin berkurang. Namun sayangnya, pasar energi berkelanjutan (untuk energi terbarukan dan efisiensi energi) belum berkembang.
- Pendanaan energi berkelanjutan di Indonesia masih berfokus pada proyek komersial dan non-komersial, namun belum sampai pada inovasi teknologi
- Pendanaan untuk elektrifikasi perdesaan bersumber dari APBN dan APBD tapi masih sangat terbatas. Pada praktiknya, investasi ini tidak berkelanjutan.
Bapak Herman Darnel dari Dewan Energi Nasional memaparkan mengenai proyeksi penyediaan dan pengembangan energi bersih sebagaimana ada di dalam rancangan kebijakan energi nasional 2050. Bapak Herman menyatakan bahwa sebelum membicarakan masalah kelanjutan energi di Indonesia, yang harus diperhatikan terlebih dahulu sebenarnya adalah kepastian bahwa energi itu sendiri akan tersedia secara berkelanjutan, hal inilah yang sebenarnya menjadi hambatan paling utama dari masalah energi yang berkelanjutan; keseimbangan antara keamanan, ekonomi, dan lingkungan, semuanya saling melengkapi.
Bapak Herman menyatakan bahwa di dalam rancangan KEN 2050, sasaran konsumsi listrik per kapita di tahun 2050 adalah 7000 kWh, sedangkan konsumsi energi per kapita di tahun 2050 mencapai 3,2 ton setara minyak. Rancangan KEN menyatakan bahwa di tahun 2050, penyediaan listrik ditargetkan mencapai 2149 TWh, dimana akan diperlukan sekitar 430 pembangkit. Rancangan KEN juga menargetkan kontribusi energi baru terbarukan dalam penyediaan energi minimal 30% dari kebutuhan total.
Bapak Budi Setianto dari PLN menyampaikan mengenai kebutuhan tenaga listrik berdasarkan RUPTL 2012-2021, dimana di tahun 2014, kebutuhan listrik akan mencapai 205,8 TWh, dengan rasio elektrifikasi sebesar 85,3%. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sebesar 3807,4 MW pembangkit diperlukan untuk beroperasi di tahun 2014. Bapak Budi juga memaparkan pola pendanaan yang saat ini berlaku, dimana pinjaman two steps loan masih berlaku. Namun, saat ini, PLN dan Pertamina, merupakan dua perusahaan dari 25 perusahaan internasional yang sudah dipandang layak oleh KfW untuk menerima pinjaman langsung, tanpa jaminan pemerintah. Di akhir paparannya, Bapak Budi menyatakan bahwa di tahun 2013 dan 2014, diperlukan biaya pengembangan pembangkit energi baru terbarukan sebesar 1164,2 juta dollar Amerika.
Paparan ketiga disampaikan oleh Bapak Raymond Bona dari Indonesia Clean Energy Development (ICED) mengenai investasi energi bersih melalui inisiatif perbankan hijau. Peran dari ICED sebenarnya adalah memberikan pendampingan teknis kepada multipihak, namun skalanya memang komersial. Survey yang dilakukan oleh German Development Institute dan Bank Indonesia menunjukkan alasan mengapa institusi perbankan di Indonesia tidak memperpanjang kredit untuk proyek-proyek hijau (dalam hal ini adalah bank) yang dilakukan dengan metode survey. Alasan tertinggi adalah karena bank-bank tersebut tidak memiliki pengalaman mengenai pendanaan energi. Itu sebabnya, ICED kemudian melakukan pelatihan bukan hanya untuk bank, namun juga pada pihak pengembang, agar proposal yang diajukan oleh pengembang ke bank memiliki kualitas yang baik. Beberapa hasil dari dampingan ICED adalah dihasilkannya project memo untuk beberapa kegiatan energi terbarukan di Indonesia dengan pendanaan yang berasal dari bank atau lembaga perbankan lainnya.