Skip to content

Masalah Keuangan PLN Dikhawatirkan Bisa Pengaruhi Rating Utang RI

Author :

Authors

“Jika PLN dianggap tidak dapat membayar utang atau gagal memenuhi kewajibannya, investment grade pemerintah atau surat utang pemerintah akan terpengaruh.”

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Faby Tumiwa ikut menyoroti surat Menteri Keuangan Sri Mulyani mengenai risiko keuangan PT Perusahaan Listrik Negara/PLN (Persero). Faby berpendapat kondisi keuangan PLN dapat memberikan pengaruh buruk bagi investment grade dan rating obligasi pemerintah.

Faby memaparkan risiko keuangan PLN terjadi karena beberapa faktor. Faktor pertama karena harga energi primer dalam enam bulan, khususnya batu bara mulai merangkak naik. Demikian pula harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang naik di atas US$ 50 per barel. Padahal, kedua energi primer ini masih menyumbang 40% dari kebutuhan PLN.

Di sisi lain, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyatakan bahwa tarif listrik tidak akan mengalami kenaikan sampai dengan akhir tahun, bahkan akan berlanjut di tahun depan. Penyesuaian tarif 900 VA pun dinilai terlamat, sedangkan 450 VA tidak akan dijalankan karena 2018 sudah memasuki tahun politik.

Dengan demikian, ruang untuk menekan beban usaha yakni Biaya Pokok Produksi (BPP) PLN semakin menipis. Sedangkan, margin yang diterima pun juga akan menipis. Dengan kondisi ini, kewajiban membayar utang dan melakukan investasi menjadi terbatas.

Faby menilai, Sri Mulyani mengkhawatirkan rasio utang PLN yang semakin tinggi akan membuat pemegang obligasi (bond holder) berpresepsi bahwa PLN tidak akan bisa memenuhi perjanjian (covenant) yang telah disepakati.

“Jika PLN dianggap tidak dapat membayar utang atau gagal memenuhi kewajiban financing-nya, investment grade-nya pemerintah atau surat utang pemerintah yang akan terpengaruh. PLN kan dijamin pemerintah,” ujar Faby saat dihubungi Katadata, Jakarta, Rabu (27/9).

(Baca: Kementerian BUMN Sebut PLN Sudah Siapkan Strategi Amankan Keuangan)

Persepsi risiko terhadap surat utang pemerintah yang naik akan membuat semakin berat pembiayaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Faktor kedua, kinerja keuangan PLN semakin terbebani dengan menjalankan proyek pembangunan pembangkit listrik 35 GW, khususnya di pembangunan transmisi. Namun, proyek ini memang harus dilakukan.

Faby menjelaskan, kemampuan internal PLN membiayai proyek tersebut hanya Rp 35 triliun pertahun, sedangkan kebutuhannya adalah Rp 100-110 triliun pertahun. Akibatnya, terdapat kesenjangan pembiayaan sebesar Rp 75 triliun pertahun yang harus dibiayai dari pendanaan eksternal yakni perbankan domestik, internasional, dan pasar modal. Utang PLN pun lambat laun semakin membengkak.

Untuk mengatasi hal tersebut, Faby mengatakan, salah satu jalan yang bisa diambil PLN dan pemerintah yaitu harus membedah faktor penyebab BPP yang tinggi. Faby menjelaskan, penyebabnya adalah, pertama, harga energi primer yang tinggi. Seharusnya, Jonan bisa mengeluarkan kebijakan untuk menekan harga energi primer ini, khususnya batu bara.

Kedua, yang membebani BPP PLN itu adalah capacity payment yang dulu telah dituangkan dalam perjanjian take or pay dengan Independent Power Producer (IPP). Oleh karena itu, di dalam penyaluran listrik, PLN akan memprioritaskan dari IPP itu. Sementara, pembangkit PLN yang lebih murah tidak optimal.

“Ini harus diatasi PLN dan pemerintah. Harga energi primernya harus ditekan. Capacity payment-nya juga harus ditekan,” ujarnya.

Kemudian, PLN juga harus melakukan efisiensi internal. Faby mencatat, beban administrasi PLN sudah berada dilevel 7%. Padahal, dulu, beban administrasi ini dijaga di bawah 5%. Faby menduga, beban ini meningkat karena kenaikan jumlah pegawai, khususnya jajaran direksi.

“Direktur PLN banyak sekali, dulu cuma 5-7. Sekarang belasan. Belum di bawahnya strukturnya. itu kan menjadi mahal sekali biayanya. Efisiensi internal itu perlu dilakukan,” ujarnya.

Selain itu, PLN dan pemerintah juga harus bisa meningkatkan penjualan listriknya, atau paling tidak mencapai target yang telah dipatok sebelumnya yakni 232 tera watt hour (TWH). Karena, hingga, bulan Agustus 2017 ini, permintaan masih minim sehingga Faby menduga, jika tidak ada terobosan maka penjualan listrik PLN ini bisa-bisa hanya mencapai 225 TWH paling besar.

Sumber: katadata.co.id.

Share on :

Comments are closed for this article!

Related Article

IESR-Secondary-logo

Dengan mengirimkan formulir ini, Anda telah setuju untuk menerima komunikasi elektronik tentang berita, acara, dan informasi terkini dari IESR. Anda dapat mencabut persetujuan dan berhenti berlangganan buletin ini kapan saja dengan mengklik tautan berhenti berlangganan yang disertakan di email dari kami. 

Newsletter