Perubahan iklim merupakan fenomena yang bukan hanya diperbincangkan, namun, lebih dari itu. Perubahan iklim merupakan realitas yang harus dihadapi oleh makhluk hidup tak terkecuali manusia. Ini adalah dampak dari pemanasan global akibat naiknya gas rumah kaca (GRK).
Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (COP UNFCCC) ke-17 yang berlangsung di Durban Afrika Selatan selama merupakan salah satu upaya yang dilakukan dunia internasional untuk menekan laju perubahan iklim. Konferensi yang dihadiri 194 negara tersebut, berlangsung dari tanggal 28 November – 9 Desember 2011 dengan tambahan dua hari hingga tanggal 11 Desember 2011.
Dalam konferensi ini pemerintah Indonesia juga mengirimkan delegasi muda untuk menghadiri COP 17. Pengiriman delegasi muda yang berjumlah tiga belas pemuda dengan tiga mentor, dimaksudkan agar para generasi muda mengetahui tata cara berdiplomasi dan sebagai upaya pemberdayaan generasi muda. Salah seorang delegasi ini adalah saya, Ferry Arida Setyawan, pelajar kelas XII jurusan Ilmu Sosial di SMA N 1 Sragen, Jawa Tengah. Keikutsertaan saya merupakan hasil seleksi serta dukungan dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan The Climate Reality Project Indonesia (TCRPI).
Merupakan kesempatan yang sangat berharga untuk dapat mengikuti konferensi internasional PBB untuk perubahan iklim ini, yang tidak semua orang dapatkan, terlebih saya yang berasal dari daerah. Setelah mewakili Indonesia dalam konferensi ini, banyak hal baru yang saya dapatkan. Mulai dari pengetahuan mengenai perubahan iklim, pengalaman yang berharga, hingga network.
Sebelum menghadiri konferensi, Saya menjalani pembekalan selama tiga hari, 28-30 November 2011. Selama pembekalan yang dibuat secara santai namun memberikan banyak ilmu. Saya memperoleh pembelajaran mengenai jurnalistik, fotografi, videografi, hingga belajar tentang tata cara berdiplomasi dan negosiasi. Tak ketinggalan pula, dan yang terpenting adalah pengetahuan perubahan iklim dari Ibu Amanda Katili (DNPI) dan seluk beluk UNFCCC dari Ibu Eka Melissa (Kantor Presiden RI) serta pendalaman Kebudayaan Budaya Indonesia dari Ibu Debrah (Yayasan Visi Anak Bangsa). Dan untuk memantapkan pembekalan, kami juga melakukan simulasi sidang PBB. Di sela pembekalan saya dan delegasi yang lain juga melakukan kunjungan ke TransTv.
Dalam konferensi internasional PBB ini, kami menggunakan pink badge, yang mana ini merupakan badge prestisius. Dengan badge ini saya dapat mengikuti seluruh sidang negosiasi PBB maupun pertemuan yang diadakan oleh organisasi.
Bersama Dr. Armi Susandi MT, wakil ketua kelompok kerja DNPI, saya berkesempatan mengobservasi International Convention Centre (ICC), tempat konferensi berlangsung. Dari beliau saya mendapatkan penjelasan mengenai posisi Indonesia dalam konferensi maupun dengan negara lain.
Di Paviliun Indonesia saya beserta delegasi muda Indonesia lainnya berkesempatan mennyelenggarakan “International Children and Youth Session/ICYS”. Dari namanya sudah bisa ditebak kalau ini merupakan acara yang ditujukan untuk pemuda. Namun sayang acara yang sudah kami rencanakan tidak berjalan begitu mulus, sebab di hari yang sama para pemuda melakukan long march dan setelah itu ada beach party. Meski tidak semua youth hadir, acara tetap berjalan dengan sedikit penyesuaian dan akhirnya dapat berjalan dengan lancar.
Hal yang paling ditunggu pun tiba, yaitu mengamati proses negosiasi. Saya bersama Adelin Abas (Gorontalo), Atika Putri (Sulawesi), Dina Danumira (Papua), dan Dian Anggraini (mentor/TCRPI) mengikuti negosiasi the Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention/AWG-LCA, dimana saya berada di sebuah negosiasi yang membahas isu adaptasi. Karena peserta negosiasi yang melebihi kuota, maka ketua pimpinan negosiasi memutuskan memindah negosiasi ruang ke yang lebih besar, dari Rock Ash Room ke Safsaf Willow Room. Dan ini membuat proses negosiasi molor setengah jam dari jadwal.
Proses negosiasi berjalan alot dan lebih didominasi negara-negara maju, seperti Amerika dan Kanada. Sangking alotnya negosiasi, maka negosiasi ditunda sementara dan dilanjutkan lagi satu setengah jam kemudian. Namun sayang saya dan delegasi lainnya tidak dapat mengikuti karena ada kegiatan lain.
Selain itu saya mendapat kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang yang berkompeten di bidangnya, dari berbagai negara, baik dari pemerintah maupun NGO. Di salah satu booth NGO, Plant for the Planet, yang memfokuskan pada peran remaja dalam perubahan iklim, saya memperoleh pengalaman yang menarik. Yakni setelah berbincang-bincang dengan aktivis Plant for the Planet dan mengisi data, saya diperkenalkan dengan atasannya dan diberi sebuah buku secara cuma-cuma yang notabennya dijual dan hasil penjualan digunakan untuk penghijauan.
Sebuah pengalaman dan pengetahuan yang tak cukup hanya diungkapkan dengan tulisan, namun mampu untuk diimplementasikan dengan tindakan. Meski hasil COP 17 tidak seperti yang diharapkan oleh seluruh negara peserta, namun suatu kemajuan yang baik untuk melanjutkan tindakan nyata dalam menekan laju perubahan iklim.
Sabtu, 24 Desember 2011
Ferry Arida Setyawan,
Indonesia Official Youth Delegates for COP 17/CMP 7
Anggota Sobat Esensial IESR