Upaya untuk melepas ketergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak BBM seringkali disampaikan oleh pemerintah, tetapi nyatanya Indonesia masih bersandar pada bahan bakar fosil.
Berbagai usaha untuk mengenalkan bahan bakar alternatif pernah dilakukan oleh pemerintah. Di jaman mantan presiden Soeharto, peralihan penggunaan BBM ke Bahan Bakar Gas BBG mulai disampaikan pada tahun 1986, kemudian di tahun 1995, tetapi jumlah kendaraan penguna BBG justru berkurang.
Penggunaan ethanol untuk bahan bakar telah dilakukan di Brasil.
Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono tak hanya sekali melontarkan gagasan untuk menggunakan energi alternatif, energi terbarukan dan yang ramah lingkungan.
Tujuannya adalah selain behenti bergantung pada bahan bakar fosil, juga mencari energi yang ramah lingkungan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
Pada tahun 2006, pemerintah pernah memiliki rencana untuk beralih ke bahan bakar nabati, antara lain yang berasal dari tanaman jarak, ethanol dan lain-lain.
Pemerintah juga merencanakan penanaman 24 juta hektar hingga 2010, untuk mengembangkan tanaman yang digunakan sebagai bahan bakar nabati.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menyatakan pemerintah membentuk tim nasional untuk bahan bakar nabati, dan juga melibatkan sejumlah Badan Usaha Milik Negara BUMN serta seluruh kementrian.
“Ada banyak proyek dan pilot project, dan jadi program nasional, tetapi kita lihat setelah program itu selesai sama sekali tidak ada catatan berapa banyak produk minyak jarak yang telah dihasilkan, dan berapa produk ethanol yang digunakan untuk domestik,” kata Fabby.
Pemerintah ketika itu menetapkan presentase kadar ethanol untuk bahan bakar untuk konsumsi domestik.
Pengembangan mobil nasional harus sejalan dengan kebijakan energi.
Kurang dukungan
Menurut data Komite Penghapusan Bensin Bertimbal KPBB, pada tahun 2006, kadarethanol pada bahan bakar jenis premium mencapai 10%, dan biodiesel pada solar juga mencapai 10%.
Tetapi, menurut Ahmad Safrudin, koordinator KPBB, jumlah kandungan bahan bakar nabati yang dijual di SPBU semakin berkurang. Total pemakaian bahan bakar nabati hanya mencapai 170 ribu kiloliter atau kurang dari 0,02%.
“Jumlah itu sangat rendah sekali, padahal jika dikembangkan dalam konteks ketahanan energi nasional, itu dapat diraih,” kata Ahmad.
Ahmad mengatakan kegagalan program bahan bakar nabati itu, antara lain karena tidak mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, antara lain produsen otomotif.
“Para produsen otomotif menyatakan produk kendaraan yang mereka pasarkan di Indonesia, belum dirancang untuk menggunakan bahan bakar nabati, makanya produk bahan bakar nabati turun,” jelas Ahmad.
Fabby Tumiwa menilai, langkah untuk menggunakan energi yang lebih ramah lingkungan seharusnya juga berjalan bersamaan dengan kebijakan pemerintah disektor lain, seperti pengembangan industri otomotif pun harus mendukung pemakaian energi bersih.
“Jika memang kebijakannnya adalah untuk mengurangi emisi, artinya industri otomotif yang dikembangkan adalah yang menggunakan bahan bakar yang ramah lingkungan, bukan lagi mobil yang pakai premium,” tambah dia.
Fabby menyebutkan jika pemerintah ingin menurunkan emisi gas rumah kaca, penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26%, pada tahun 2020, penggunaan subsidi BBM harus diubah dan pemanfaatan bahan bakar yang ramah lingkungan seperti BBG dan bahan Bakar Nabati menjadi sangat penting. Menurut catatan Komite Penghapusan Bensin Bertimbal, selama ini sektor transportasi menyumbang emisi gas rumah kaca sebesar 23%.
Sumber: BBC.