Melihat Potensi Kerjasama Indonesia – Tiongkok

Jakarta, 24 September 2024 – Indonesia berada dalam situasi mengejar berbagai target transisi energi baik yang telah dicanangkan maupun sebagai kebutuhan memenuhi target persetujuan Paris. Kolaborasi lintas negara menjadi solusi strategis untuk mengejar baik target investasi maupun pengurangan emisi. 

Kecepatan penambahan investasi dan penambahan kapasitas energi terbarukan di Indonesia kerap tidak mencapai target. Sementara, sektor energi merupakan sektor krusial yang akan mengurangi emisi Indonesia secara signifikan.

Indonesia dan Tiongkok telah memiliki relasi diplomatik yang panjang dan mengalami berbagai pasang surut. Saat ini, posisi Tiongkok dalam peta transisi energi global sangat strategis. Sebagai negara dengan ekonomi yang meroket dan memiliki industri yang maju, peran Tiongkok menjadi sentral dalam transisi energi.

Arief Rosadi, Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi dan Kebijakan, Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam acara media luncheon dengan tema “Potensi Kolaborasi Indonesia – China dalam Pembangunan Ekonomi Hijau dan Kerja Sama Energi Bersih” menyebutkan bahwa China merupakan salah satu investor besar di Indonesia. Dalam upaya memenuhi target pengembangan energi terbarukan, Indonesia masih mengidentifikasi adanya kesenjangan investasi, salah satunya sektor energi.

“Untuk mencapai target tersebut dibutuhkan investasi sebesar 1.300 miliar USD, dengan investasi tahunan 30-40 miliar USD. Sementara realisasi investasi energi terbarukan Indonesia 1,3 miliar USD dalam 3 tahun terakhir. Terlihat ada gap pendanaan yang besar untuk transisi energi,” kata Arief.

Arief menambahkan, saat ini pemerintah telah menginisiasi beberapa program untuk menarik pendanaan energi terbarukan seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism (ETM). Namun masih dibutuhkan investor lain untuk memenuhi kebutuhan investasi energi. China dipandang sebagai kolaborator potensial dan diharapkan masyarakat sipil dapat berperan mendorong kerjasama bilateral Indonesia-China.

Agung Marsallindo, Koordinator Proyek Transisi Energi Asia Tenggara, IESR menjelaskan bahwa dengan menjajaki peluang kerjasama yang lebih intensif dengan China, Indonesia dapat memaksimalkan berbagai potensi yang dimiliki, namun juga perlu memahami tantangan yang ada.

“Dalam hal akselerasi kolaborasi Indonesia – China, terdapat tantangan baik yang bersifat teknis maupun geopolitik. Persepsi masyarakat atas Tiongkok juga menjadi hal yang sensitif dan dapat mempengaruhi nilai investasi, maka perlu diantisipasi,” kata Agung.

Christine Susanna Tjhin, Direktur Kajian Strategis Gentala Institute, menyatakan bahwa hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok diwarnai dengan berbagai persepsi sosial politis dari kedua negara. 

“Di dalam negeri, arah kebijakan China mulai beralih menuju arah yang lebih sustainable terutama dengan adanya milestone Green Belt Road Initiative (BRI), yang secara spesifik bertujuan membuat proyek-proyek Belt Road Initiative (BRI) yang lebih hijau dan investasi China di luar negeri lebih sustainable,” kata Christine.

Riyadi Suparno, Direktur Eksekutif, Tenggara Strategic, menjelaskan bahwa Tiongkok merupakan mitra strategis Indonesia pada sektor energi, dengan kepemilikan PLTU batubara terbanyak dengan pangsa sebesar 41 persen  pada PLTU terpasang dan memiliki 53 persen pada PLTU yang dalam perencanaan. Namun Riyadi berharap antusiasme Tiongkok dalam mengembangkan energi terbarukan dapat mempengaruhi naiknya investasi di Indonesia.

“Mengingat posisi Tiongkok saat ini sebagai produsen modul surya terbesar di dunia, dan investasi China yang mulai masuk pada sektor energi terbarukan seperti PLTA, mobil listrik, dan pabrikan modul surya, Tiongkok merupakan potensi investor untuk energi terbarukan di Indonesia,” jelas Riyadi.

Dino R. Kusnadi, Fungsional Diplomat Ahli Madya, Kementerian Luar Negeri, menyatakan dalam prinsip diplomasinya, Indonesia menganut politik bebas aktif yang berarti terbuka pada semua mitra investasi dan kolaborasi serta yang dapat memberikan nilai tambah (added value) pada Indonesia.

“Kita harus pahami bahwa untuk kerjasama bilateral itu berdasarkan common interest (kepentingan bersama-red). Ya, saat ini interest China dan Indonesia sejalan dan saling membutuhkan. Dari sisi Indonesia, kita juga harus terus meningkatkan kapasitas kita sehingga kerjasama bilateral ini membawa nilai tambah bagi Indonesia,” kata Dino.

Share on :

Leave a comment