Perubahan sumber energi membutuhkan transformasi sistem secara besar-besaran. Dalam hal ini, tidak hanya pembangunan infrastruktur baru dan aspek teknologi yang diperlukan, tetapi juga menyangkut masyarakat sebagai pembuat keputusan dan juga sebagai pihak yang akan terdampak oleh transisi energi. Gagasan mengenai transisi energi seringkali hanya berfokus pada aspek teknologi, sehingga aspek lain seperti aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan menjadi cenderung terabaikan. Misalnya, ketika membicarakan mengenai kebutuhan pendanaan untuk membangun infrastruktur energi terbarukan, biaya untuk mitigasi risiko sosial seringkali tidak masuk dalam perhitungan. Jika tujuan utamanya adalah mencapai transisi energi yang berkeadilan, maka sudah saatnya untuk mulai mempertimbangkan dimensi sosial dari transisi energi.
Dalam G20 Forum on International Policy Levers for Sustainable Investment, Brian Motherway sebagai perwakilan dari IEA menyampaikan bahwa investasi memang krusial dikarenakan tingginya biaya modal awal untuk proyek energi terbarukan. Namun, menurut Brian, tidak dapat dipungkiri bahwa transisi energi berkeadilan yang berorientasi terhadap kepentingan masyarakat juga tidak kalah penting. Seiring dengan berjalannya proses transisi energi, masyarakat juga akan bertransformasi. Apakah nantinya transformasi tersebut akan menimbulkan disrupsi atau justru dapat menjadi pemberdayaan bagi masyarakat tergantung pada pilihan kebijakan untuk memitigasi risiko dari transisi energi. Biaya untuk memberikan perlindungan terhadap risiko tersebut juga harus diperhitungkan dalam pendanaan proyek energi terbarukan sebagai jaminan bahwa pembangunan rendah karbon dapat memberikan manfaat bagi semua lapisan masyarakat, bukan justru menjadikan masyarakat sebagai ‘penanggung’ biaya transisi.
Namun demikian, ada beberapa tantangan dalam memahami risiko sosial transisi energi dan mengukur jumlah pendanaan yang dibutuhkan. Gagasan mengenai transisi yang berkeadilan baru muncul belakangan ini, demikian juga dengan wacana perhitungan pembiayaan non-proyek (non-project financing). Tantangan pertama adalah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan ‘biaya sosial’ dalam transisi energi. Setiap proyek transisi energi memiliki derajat perbedaan kompleksitas dan juga cakupan masing-masing, sehingga setiap proyek akan memiliki pengertian yang berbeda mengenai biaya sosial tersebut. Secara umum, biaya sosial biasanya dikaitkan dengan jaminan pekerjaan atau jaring pengaman sosial, sedangkan pengertian lain merujuk pada gagasan mengenai keadilan energi–distribusi biaya dan manfaat yang merata bagi komunitas yang terdampak oleh perubahan sistem energi. Tanpa mengabaikan keberagaman konteks pada level lokal dan regional dalam perencanaan sistem energi, kerangka kebijakan yang komprehensif dapat menjadi acuan bagi perusahaan swasta maupun institusi keuangan dalam mendesain alokasi dana untuk pembiayaan non-proyek.
Kedua, kurangnya data yang dapat menggambarkan kalkulasi risiko sosio-ekonomi dari proyek transisi energi. Sebagai contoh, Bappenas memperkirakan akan ada 1,8 juta sampai 2,2 juta pekerjaan di sektor energi terbarukan pada tahun 2060 jika ada intervensi pemerintah yang cukup kuat pada sektor ini. Di sisi lain, data dari laporan IESR ‘Ensuring Just Energy Transition in Indonesia’ mengatakan bahwa ada 1 juta pekerjaan yang bergantung pada sektor batu bara di Indonesia. Sepintas, kedua data ini memberikan informasi bahwa akan ada lebih banyak pekerjaan yang tumbuh ketimbang pekerjaan yang ditinggalkan. Namun, data ini hanya merepresentasikan transisi pekerjaan pada level makro, sedangkan realitanya proses transisi lebih banyak terjadi pada level lokal maupun regional. Data yang dapat menggambarkan dampak transisi pekerjaan pada level lokal atau regional, terlebih pada area yang memiliki ketergantungan terhadap industri batu bara, dapat memberikan informasi yang lebih rinci pada institusi keuangan dalam memperhitungkan biaya untuk jaring pengaman sosial, pelatihan kerja, dan juga penyediaan alternatif pekerjaan lain. Transisi energi kini sudah tidak dapat dihindari. Maka dari itu, pemerintah harus siap untuk merespon adanya risiko meningkatnya angka pengangguran, terutama dalam industri padat karbon
Selain di sektor ketenagakerjaan, kurangnya informasi bagi masyarakat lokal mengenai transformasi energi juga menjadi salah satu tantangan dalam memobilisasi jumlah pendanaan yang dibutuhkan untuk menghalau dampak transisi. Terutama di area yang bergantung dengan keberadaan industri bahan bakar fosil, kurangnya informasi dan pengetahuan dapat meningkatkan kerentanan sosio-ekonomi pada masyarakat, ketika sumber pendapatan utama mereka tidak lagi beroperasi karena berkurangnya permintaan bahan bakar fosil di masa mendatang. Dalam hal ini, lagi-lagi data menjadi aspek krusial untuk memvisualisasikan bagaimana perputaran ekonomi di daerah yang bergantung pada industri bahan bakar fosil menjadi terdistorsi dengan adanya transisi energi. Dengan data yang komprehensif, mengalihkan pendapatan utama dari industri bahan bakar fosil ke industri lain dapat dilakukan dengan lebih adil dan mudah.
Para pemerintah dalam forum G20 memiliki tugas untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Tidak bisa diragukan lagi bahwa pendanaan menjadi salah satu aspek penting dalam transisi energi. Namun, pembiayaan untuk ‘biaya sosial’ selama ini kurang menjadi perhatian para pembuat kebijakan. Instrumen pendanaan seharusnya dapat dimobilisasi untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat dan daerah yang terdampak oleh transisi energi. Rumusan kebijakan yang berdasarkan data–terutama pada skala regional–menjadi penting untuk memitigasi dampak transisi energi. Pada akhirnya, transisi berkeadilan adalah sebuah gagasan yang mengkombinasikan tujuan pembangunan ekonomi dan keberlanjutan iklim. Sudah saatnya bagi pembuat kebijakan untuk menjelajahi aspek ‘keadilan’ dalam transisi energi yang berkeadilan dengan mendorong mekanisme pendanaan yang lebih inklusif.