Putrajaya, 20 Februari 2025 – Asia Tenggara adalah kawasan dengan pertumbuhan ekonomi terbesar saat ini. Pertumbuhan ekonomi berjalan seiring dengan permintaan energi untuk menggerakkan aktivitas ekonomi. Dengan ambisi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, kebutuhan energi di kawasan ASEAN juga akan meningkat signifikan.
Pemenuhan energi yang besar ini perlu direncanakan secara komprehensif, dengan memperhitungkan kebutuhan pengurangan emisi dan kematangan teknologi yang tersedia i. Perencanaan kebijakan energi yang komprehensif mulai harus dilakukan untuk tingkat kawasan Asia Tenggara, tidak terbatas untuk satu negara. Oleh karena itu forum seperti Keketuaan ASEAN (ASEAN Chairmanship), harus perlu mendorong agenda strategis bersama.
Norasikin Ahmad Ludin, Deputi Direktur Solar Energy Research Institute, Malaysia dalam sambutan pada Seminar Nasional “Accelerating Energy Transition in Southeast Asia and The Role of ASEAN Chairmanship Malaysia” menyatakan bahwa tahun ini Malaysia mendorong sejumlah isu prioritas terkait energi dalam kepemimpinannya.
“Saat ini ASEAN berada pada situasi krusial dengan kebutuhan energi yang sangat tinggi. Malaysia mendorong agar ASEAN bertransformasi menjadi kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tinggi dan ditopang oleh sumber energi yang bersih,” katanya.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), merekomendasikan sejumlah langkah agar ASEAN dapat bertransformasi memenuhi kebutuhan energinya dengan energi bersih dengan bertumpu pada empat pilar utama.
Pertama, percepatan pengembangan dan integrasi energi bersih, seperti membentuk ASEAN Just Energy Transition Partnership (ASEAN-JETP) untuk membuka pendanaan hingga USD 130 miliar per tahun hingga 2030.
Kedua, menjadikan ASEAN sebagai pusat manufaktur dan perdagangan energi bersih, misalnya dengan meluncurkan ASEAN Clean Energy Industrial Strategy untuk menarik lebih dari USD 100 miliar investasi dalam sektor sel surya, kendaraan listrik, baterai, turbin angin, dan hidrogen hijau.
Ketiga, memperkuat investasi hijau dan mekanisme pembiayaan, dengan memperluas taksonomi hijau ASEAN dan kerangka keuangan berkelanjutan untuk menarik investor global dan penerbitan obligasi hijau.
Keempat, meningkatkan koordinasi kebijakan dan pengembangan tenaga kerja, seperti mendirikan ASEAN Clean Energy Workforce Initiative guna menciptakan lebih dari 3 juta lapangan kerja di sektor manufaktur, teknik, dan inovasi digital, dan membentuk ASEAN Clean Energy Research and Development Center untuk mendorong riset dan inovasi teknologi energi bersih.
Konteks dan Situasi Lokal
Energi merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Melakukan transformasi untuk sistem energi harus melibatkan masyarakat serta mempertimbangkan konteks dan situasi lokal masyarakat. Dalam hal pengembangan energi terbarukan secara sistematis, beberapa negara di Asia Tenggara memiliki pengalaman unik yang dapat dijadikan acuan praktik.
Roberto Emilio Hernandez, Direktur Kebijakan Energi Institute for Climate and Sustainable Cities (ICSC), berbagi tentang situasi dan tantangan pengembangan energi terbarukan di Filipina.
“Secara geografis, Filipina kerap dilalui oleh gelombang badai sehingga membuat pengembangan energi terbarukan cukup menantang. Dengan situasi seperti ini, pembangkit terdesentralisasi lebih kami dorong agar tiap pembangkit dapat semakin mendekati lokasi beban.”
Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, menyatakan bahwa selain transfer pengetahuan dan teknologi, kesiapan tenaga kerja lokal untuk bekerja pada sektor-sektor yang muncul juga perlu mendapat perhatian.
“Kita perlu menyiapkan tenaga kerja lokal yang berarti harus memikirkan program pelatihan atau persiapan yang membekali mereka dengan skill dan kompetensi yang dibutuhkan pada sektor atau industri energi terbarukan,” katanya.
Sokphalkun Out, Engagement Manager, EnergyLab Cambodia, berharap ASEAN power grid dapat meningkatkan akses energi di daerah-daerah yang pada hari ini masih kekurangan akses energi.