Memahami Pasar Karbon di Pakistan dan Indonesia

Jakarta, 26 Juni 2025 –  Kawasan Asia menghadapi kesenjangan pembiayaan iklim yang signifikan meskipun merupakan kontributor utama emisi global. Berdasarkan data Indonesia Monetary Fund (IMF) 2024, kawasan ini membutuhkan sekitar USD 1,1 triliun setiap tahun untuk memenuhi target mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Namun, investasi yang ada saat ini baru mencapai sekitar USD 333 miliar, jauh dari angka yang dibutuhkan. Kesenjangan pembiayaan iklim sebesar USD 815 miliar per tahun ini menjadi tantangan besar dalam menghadapi perubahan iklim. Dengan kondisi tersebut, pasar karbon dapat membantu mengatasi kesenjangan ini dengan memberikan harga untuk emisi karbon, menciptakan insentif finansial bagi pengurangan emisi, dan mengarahkan modal swasta ke proyek-proyek iklim. Hal ini diungkapkan Arief Rosadi, Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam Webinar Regional Mendorong Dekarbonisasi: Memahami Pasar Karbon di Kawasan Asia pada Kamis (26/6). 

“Pasar karbon menawarkan solusi pendanaan yang dapat diskalakan untuk membuka potensi modal swasta yang sebelumnya tidak ada. Beberapa kisah sukses dari kawasan Asia termasuk Singapura yang telah menerapkan pajak karbon dan sistem perdagangan emisi sejak 2019, mengatur sekitar 70 persen emisi negara melalui pajak pada 50 fasilitas industri utama. Di Asia Timur, Jepang memimpin dengan Mekanisme Kredit Bersama (Joint Crediting Mechanism, JCM) yang memfasilitasi kerja sama bilateral, sementara China mengoperasikan Sistem Perdagangan Emisi terbesar di dunia, yang mencakup sekitar 8 miliar ton CO2e,” tegas Arief. 

Namun demikian, Arief Rosadi menyoroti kondisi pasar karbon di Indonesia yang belum mencapai ekspektasi pemerintah, dengan aktivitas perdagangan yang minim, harga yang rendah, dan partisipasi yang terbatas. Hal ini disebabkan oleh fragmentasi regulasi dan standar yang tidak konsisten antar kementerian serta masalah integritas seperti baseline yang dibesar-besarkan dalam proyek dan sistem pemantauan yang lemah, yang semakin diperburuk oleh kekurangan infrastruktur di pedesaan.

“Untuk itu, Indonesia dan negara-negara Asia lainnya harus berupaya untuk menyelaraskan regulasi dan berinvestasi dalam infrastruktur Monitoring, Reporting, and Verification (MRV) yang lebih baik agar sesuai dengan standar global, termasuk Pasal 6 Perjanjian Paris. Tanpa perbaikan ini, pasar karbon berisiko menjadi simbolis belaka dan tidak memberikan solusi yang efektif untuk perubahan iklim,” kata Arief. 

Shaheera Tahir, Manajer Program (Riset), Policy Research Institute for Equitable Development (PRIED) menuturkan Pakistan berada pada tahap awal dalam pengembangan pasar karbon, namun memiliki potensi besar untuk menghasilkan USD 2 – 5 miliar jika pasar ini dikembangkan dan dikelola dengan baik. Negara ini telah berpartisipasi dalam Pasar Karbon Sukarela (VCM), yang memungkinkan sektor swasta berperan aktif dalam mengurangi emisi dan mengimbangi dampak perubahan iklim.

Shaheera mengungkapkan empat langkah yang perlu dilakukan untuk mengembangkan pasar karbon di Pakistan, pertama peningkatan kapasitas kepada pengembang dan calon investor untuk memahami cara kerja mekanisme perdagangan kredit karbon. Kedua, insentif yang memadai untuk mendorong sektor swasta berpartisipasi dalam proyek pengurangan emisi, terutama dalam penggunaan energi terbarukan. Ketiga, mempercepat proses pendaftaran proyek karbon dengan mengurangi hambatan birokrasi dan mendukung implementasi inisiatif pengurangan emisi di sektor pertanian. Keempat, membangun sistem registrasi karbon nasional untuk melacak dan memverifikasi proyek pengurangan emisi. Ini juga mencakup pengumpulan data yang transparan mengenai jejak emisi dan strategi pengurangan karbon.

Ambiyah Abdullah, Peneliti Senior di Departemen Pemodelan Energi dan Perencanaan Kebijakan, ASEAN Centre for Energy menyatakan ASEAN telah menetapkan langkah-langkah strategis untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2050, dengan fokus utama pada sektor energi dan transportasi yang menjadi kontributor terbesar emisi di kawasan ini. Meskipun tantangan pembiayaan dan regulasi masih besar, namun dengan pengembangan teknologi dan kerjasama regional yang lebih erat, ASEAN memiliki potensi untuk mencapai tujuan ini.

“ASEAN tengah mengembangkan ASEAN Carbon Market Framework yang bertujuan untuk mendukung perkembangan pasar karbon di kawasan ini. Pasar karbon diharapkan dapat mengurangi hambatan dalam memenuhi persyaratan kredit karbon internasional dan mendorong partisipasi sektor swasta dalam pendanaan proyek-proyek mitigasi emisi. Dengan dukungan kebijakan yang tepat dan komitmen kuat dari semua pihak, ASEAN dapat mencapai target ambisius ini dan menjadi pemimpin dalam aksi perubahan iklim global,” tegas Ambiyah.

Share on :

Leave a comment