Membangun Masa Depan Berkelanjutan di Daerah Penghasil Batubara

Samarinda, 17 Oktober 2025 – Di beberapa daerah seperti Kalimantan Timur, pengembangan ekonomi hijau mulai menunjukkan dampak positif terhadap pertumbuhan daerah. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mengalami peningkatan seiring dengan inisiatif transisi energi dan pelibatan masyarakat dalam proyek-proyek berkelanjutan. Model seperti ini dapat menjadi contoh bagi daerah lain dalam mengintegrasikan pendidikan, ekonomi, dan lingkungan. Hal ini dikatakan Jayanti Maharani, Koordinator Ketenagalistrikan, Direktorat Transmisi, Ketenagalistrikan, Kedirgantaraan, dan Antariksa Kementerian PPN/Bappenas dalam acara Teaching for the Future x Fakultas Teknik Universitas Mulawarman yang diselenggarakan oleh Konsorsium Clean, Affordable, and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) serta didukung oleh British Embassy Jakarta dan Institute for Essential Services Reform (IESR) melalui proyek Green Energy Transition Indonesia (GETI) pada Kamis (16/10). 

“Untuk itu, peran universitas menjadi sangat krusial dalam proses ini. Kampus diharapkan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang relevan dengan kebutuhan industri hijau. Melalui kolaborasi dengan pemerintah dan pelaku usaha, universitas dapat menjadi tempat lahirnya inovasi, riset, serta pelatihan yang berorientasi pada solusi nyata di masyarakat. Misalnya, program pelatihan berbasis kebutuhan lokal dapat membantu masyarakat mengembangkan usaha kecil yang ramah lingkungan dan berkelanjutan,” tegas Jayanti. 

Wahyu Gatut Purboyo, Kabid Perekonomian dan Sumber Daya Alam, Bappeda Provinsi Kalimantan Timur menuturkan bahwa saat ini sekitar 62% pendapatan Pemerintah Provinsi Kaltim masih bergantung pada sektor batubara. Sektor ini juga menyumbang 34,2% terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan 9% terhadap lapangan kerja di wilayah tersebut. Ketergantungan yang tinggi ini, menurutnya, menjadikan perekonomian Kaltim sangat rentan terhadap fluktuasi pasar energi global.

“Seiring dengan menurunnya permintaan batubara global yang diprediksi mulai terjadi pada tahun 2035, kebutuhan untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan menjadi semakin mendesak,” ujarnya.

Ia menjelaskan, salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah memanfaatkan lahan bekas tambang sebagai area pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung atau floating solar farm. Pemanfaatan ini tidak hanya berpotensi menghasilkan energi bersih, tetapi juga mampu memulihkan fungsi lingkungan pascatambang dan membuka peluang kerja baru di sektor hijau.

Di lain sisi, Fahrizal Adnan, Wakil Dekan Bidang Akademik, Kemahasiswaan dan Alumni, Fakultas Teknik, Universitas Mulawarman menegaskan universitas memiliki peran penting sebagai inkubator talenta yang menyiapkan sumber daya manusia (SDM) unggul untuk menghadapi tantangan masa depan, khususnya di era transisi energi dan ekonomi hijau. Misalnya saja universitas dapat melakukan reorientasi kurikulum. Artinya, mata kuliah yang diajarkan perlu menyesuaikan dengan perkembangan global, seperti energi terbarukan, ekonomi sirkular, keberlanjutan lingkungan, serta digitalisasi energi. Dengan integrasi ini, mahasiswa tidak hanya memahami teori, tetapi juga mampu mengaplikasikan pengetahuan mereka dalam menghadapi isu-isu energi dan lingkungan.

“Universitas juga perlu memfasilitasi sertifikasi kompetensi bagi mahasiswa dan tenaga pendidik. Sertifikasi di bidang teknis seperti instalasi PLTS, audit energi, analisis dampak lingkungan (AMDAL), atau bidang spesifik lainnya akan meningkatkan daya saing lulusan di dunia kerja yang semakin kompetitif. Lebih dari sekadar teori, universitas dapat menjadikan kampus sebagai living laboratory atau laboratorium hidup. Melalui proyek nyata seperti pembangunan sistem energi hijau di lingkungan kampus, mahasiswa dapat belajar langsung tentang penerapan energi berkelanjutan sekaligus berkontribusi terhadap pengurangan emisi,” papar Adnan. 

Share on :

Leave a comment