Membangun Rantai Pasok Manufaktur Energi Terbarukan Indonesia

Jakarta, 25 Maret 2025 – Keberadaan rantai pasok domestik untuk komponen energi terbarukan diyakini dapat memotong harga produksi dan meningkatkan daya saing energi terbarukan Indonesia. Namun, hingga saat ini Indonesia masih belum memiliki rantai pasok manufaktur energi terbarukan yang mumpuni. Sejumlah hal masih menjadi tantangan pengembangan manufaktur komponen energi terbarukan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam acara Diseminasi & Peluncuran Studi Market Assessment Indonesia Manufacturing Industry for Renewable Energy yang diselenggarakan oleh IESR mengatakan bahwa Indonesia mengalami sejumlah tantangan dalam hal pengembangan manufaktur energi terbarukan meliputi biaya investasi awal yang tinggi, pasokan ekosistem manufaktur lokal yang belum berkembang, keterbatasan tenaga kerja terampil dan hubungan riset dengan kebijakan energi yang masih lemah, dan kerangka regulasi yang terfragmentasi.

“Indonesia memiliki kesempatan unik untuk mengubah tantangan menjadi peluang. Dengan kebijakan yang tepat dan kolaborasi yang kuat, sektor manufaktur energi terbarukan dapat menjadi penggerak ekonomi yang signifikan dan membawa Indonesia menjadi pemain utama dalam transisi energi global,” kata Fabby.

Andriah Feby Misna, Direktur Aneka EBT Kementerian ESDM mengatakan bahwa pembangunan hijau dan aspek kelestarian (sustainability) menjadi target bersama yang secara konkret dituangkan pada target pengurangan emisi untuk tiap sektornya. Pada sektor energi, salah satu strategi yang diusung adalah pemanfaatan energi terbarukan secara masif hingga 443 GW (Rencana Umum Kelistrikan Nasional). 

“Pemerintah memperkuat kebijakan-kebijakan untuk memastikan target ini tercapai salah satunya kebijakan terkait manufaktur. Dengan mengembangkan manufaktur, kita akan membangun rantai pasok domestik, yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan lapangan kerja,” katanya. 

Solehan, Direktur Industri Permesinan dan Alat Mesin Pertanian, Kementerian Perindustrian menyatakan bahwa pihaknya terus mendorong investasi di industri pendukung teknologi, seperti industri sel surya dan modul surya, sebagai bagian dari pengembangan industri terbaru di dalam negeri serta mendukung program net zero emission (NZE).

“Kami juga berusaha agar sektor energi terbarukan (EBT) menjadi menarik bagi investasi. Untuk itu, melalui kebijakan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN), kami akan selalu mendorong produk dalam negeri untuk digunakan dalam pengadaan infrastruktur EBT, khususnya di pembangkit listrik tenaga surya (PLTS),” katanya. 

Abyan Hilmy Yafi, Analis Data IESR menyatakan bahwa pembangunan industri manufaktur energi terbarukan domestik adalah sebuah kebutuhan integral dari ekosistem energi terbarukan yang berkelanjutan. 

“Untuk memastikan kesiapan rantai pasok (supply chain), perlu mempertimbangkan ketersediaan bahan baku dan diversifikasi rantai pasok. Untuk membuat industri berkelanjutan, perlu meningkatkan manajemen data, dan assessment terkait kebijakan TKDN,” kata Hilmy.

Hilmy juga menyoroti belum adanya standardisasi untuk pekerja di bidang manufaktur energi terbarukan. Padahal, hal ini penting untuk dilakukan mengingat potensi penciptaan lapangan kerja dari sektor energi terbarukan mencapai 5,7 juta lapangan pekerjaan untuk industri surya, dan 1,7 juta lapangan pekerjaan untuk industri turbin angin.

Toni Susandy, Koordinator Keteknikan ESDM, menyampaikan bahwa studi terbaru dari IESR ini menggambarkan dinamika pasar manufaktur energi terbarukan saat ini. 

“Kami melihat studi ini memberikan insight dinamika pasar dan yang paling penting bagi kami adanya rekomendasi kebijakan serta langkah strategis yang perlu kita ambil,” katanya.

Dwiantara Hadi Pratama, Penata Kelola Penanaman Modal Ahli Muda, BKPM menyatakan bahwa selain merintis sektor manufaktur energi terbarukan, perlu juga meningkatkan permintaan energi. 

“Adanya Satgas Hilirisasi dan Kemenko Perekonomian diharapkan dapat mendorong demand dan memberikan assurance pada investor bahwa demand-nya sudah ada di dalam negeri,” katanya.

Budiman Setiawan, Direktur PT Surya Utama Putra menjelaskan tantangan pengembangan panel surya domestik dari sisi pelaku usaha, antara lain persaingan dengan pabrikan luar negeri yang mampu membuat panel surya dengan skala produksi yang tinggi dan harga yang lebih murah. 

“Kami melihat bahwa fokus pada produksi panel surya ukuran kecil adalah solusi yang dapat diandalkan untuk perusahaan-perusahaan lokal. Semakin besar daya panel surya, maka ukuran dan kebutuhan pengirimannya akan semakin besar pula, sehingga lebih sulit dilakukan,” kata Budiman.

Lucila Ismoyo Rukmi, Sekretaris Jenderal Asosiasi Energi Angin Indonesia (AEAI), menyatakan bahwa saat ini komponen manufaktur masih didominasi pabrikan China, sehingga peluang bagi industri lokal justru terbuka pada segmen manufaktur skala kecil. 

“Kami melihat mungkin peluang untuk pengembang domestik justru ada di turbin angin skala kecil yang banyak digunakan di Indonesia. Sebab untuk skala utilitas, proyeknya pun baru dua di Indonesia yaitu Jeneponto dan Sidrap.” katanya. 

Ismoyo melanjutkan, pihaknya berharap bahwa kapasitas produksi domestik bukan hanya sekedar potensi namun benar-benar peluang ekonomi bagi pengusaha.

Share on :

Leave a comment