Jakarta, 14 Agustus 2024 – Dalam upaya mendukung transisi energi yang cepat dan membangun industri hijau, pembangunan rantai pasok tenaga surya yang terintegrasi menjadi suatu keniscayaan. Hal ini diungkapkan Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam Media Luncheon Indonesia Solar Summit 2024 pada Selasa (13/8/2024).
“Kepopuleran PLTS di tengah masyarakat ini tak lepas dari perkembangan lima tahun terakhir di mana adanya beberapa kebijakan yang dikeluarkan dan narasi yang berkembang melalui pemberitaan. Dalam rangka mendorong perkembangan energi surya, Indonesia Solar Summit (ISS) kembali diselenggarakan karena kami melihat perlu adanya momentum dan dukungan dari semua pihak. Di ISS 2022, terdapat deklarasi komitmen 2,3 GW project pipeline PLTS hingga 2025, dan di ISS tahun ini, kami mengundang kolaborator tersebut untuk akselerasi pemanfaatan PLTS di Indonesia,” ujar Marlistya.
Alvin P Sisdwinugraha, Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan, IESR menyatakan, kapasitas produksi modul surya di Indonesia semakin tinggi, namun perlu bersaing dengan produk impor. Hal ini dapat dilihat dari kapasitas produksi modul Indonesia per Juni 2024 yang mencapai 2,3 GW per tahun, dan berpotensi bertambah hingga 19 GW per tahun sebelum 2030 berdasarkan analisis IESR.
“Untuk itu, rantai pasok material modul surya harus didorong tumbuh dengan produksi sesuai spesifikasi PLTS. Berdasarkan analisis IESR, salah satu faktor penghambat rantai pasok material modul surya karena permintaan dari dalam negeri yang masih rendah. Misalnya saja, perubahan peraturan terkait PLTS atap menyebabkan ketidakpastian, dengan total penambahan kapasitas hanya 1,6 GW sampai 2028 berdasarkan kuota Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2 Tahun 2024,” imbuh Alvin.
Arya Rezavidi, Perekayasa Ahli Utama Pusat Riset Konversi dan Konservasi Energi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menegaskan, saat ini PLTS skala besar masih menggunakan modul impor dan ketidaktersediaan industri hulu modul surya, di mana pabrik sel surya dalam negeri baru sebatas tahap printing cell. Selain itu, ketersediaan dan kemampuan industri penunjang komponen PLTS di dalam negeri masih terbatas.
“Dengan kondisi demikian, beberapa langkah perlu dilakukan dalam akselerasi pengembangan energi surya. Pertama, adanya kemauan politik (political will) yang kuat, target nasional yang rasional dan terarah. Kedua, kerangka kebijakan dan regulasi yang mendukung, konsisten dan memiliki turunan yang jelas. Ketiga, dukungan dari berbagai pemangku kepentingan selain Kementerian ESDM dan pemerintah daerah, terutama koordinasi BRIN sebagai akselerator dan intermediator dalam memanfaatkan riset dan inovasi teknologi. Keempat, optimalisasi mobilisasi investasi, baik pemerintah dan pemerintah daerah, maupun swasta,” kata Arya.
Di lain sisi, Wilson Kurniawan, Chief Financial Officer PT Trina Mas Agra Indonesia menuturkan, industri sel dan modul surya membutuhkan berbagai dukungan lain dari pemerintah. Misalnya saja, untuk percepatan rantai pasokan industri panel surya, setidaknya memerlukan dukungan berupa insentif fiskal khusus, dan kejelasan spesifikasi dan sertifikasi komponen kelas panel surya.