Jakarta, 15 Oktober 2024 – Sepanjang 2023, kapasitas energi terbarukan global bertambah sebesar 473 GW, dengan 74 persen atau 346 GW berasal dari energi surya. Capaian ini menunjukkan bahwa energi surya dapat menjadi strategi kunci pengurangan emisi di sektor kelistrikan.
“Dalam COP 28 tahun 2023 lalu, muncul inisiatif global untuk meningkatkan tiga kali lipat kapasitas energi terbarukan (tripling renewables) atau setara dengan 11 terawatt pada 2030 sebagai upaya untuk melambatkan laju perubahan iklim dan menjaga kenaikan suhu global pada 1,5 derajat. Energi surya dapat menjadi strategi untuk memenuhi target ini,” kata Deon Arinaldo, Program Manajer Transformasi Sistem Energi, dalam acara peluncuran laporan studi Indonesia Solar Energy Outlook 2025 – Breaking the Walls: The Future of Indonesia’s Solar Energy and Energy Storage Innovations (15/10/2024).
Muhammad Dhifan Nabighdazweda, Analis Energi IESR, berdasarkan pemantauan IESR dalam kajian Indonesia Solar Energy Outlook (ISEO) 2025, menjelaskan bahwa kapasitas energi surya di Indonesia juga mengalami kenaikan namun angkanya masih sangat kecil dibandingkan dengan potensinya.
“Kami juga mencatat bahwa hanya sepertiga proyek surya skala utilitas dalam RUPTL PLN pada tahun 2023 yang terealisasi, sedangkan dua per tiga lainnya tertunda 1-3 tahun sampai kuartal dua 2024,” kata Dhifan.
Menyambung penjelasan Dhifan, Abraham Octama Halim, Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR, mengatakan bahwa berdasarkan perencanaan PLN terdapat 1,89 GW PLTS skala utilitas dijadwalkan akan memasuki tahap Commercial Operations Date (COD) pada 2024-2027. Untuk kategori PLTS atap, terdapat perubahan kebijakan dari yang awalnya berbasis net-metering, menjadi berbasis kuota.
“Penghapusan net-metering untuk pelanggan PLTS atap berakibat pada pengurangan penghematan pada pelanggan kelompok rumah tangga sebesar 40 persen, pelanggan komersial 5 persen serta pelanggan industri sebesar 0,015 persen. Ke depan dapat terjadi pergeseran pasar (konsumen) PLTS atap dengan adanya aturan ini,” jelas Abraham.
Alvin Putra Sisdwinugraha, Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR, mengatakan bahwa terdapat kebutuhan untuk memobilisasi lebih banyak investasi ke dalam sektor energi surya secara lebih masif.
“Kami melihat investasi lebih banyak mengarah pada distributed solar (PLTS atap) karena adanya kepastian regulasi yakni Permen ESDM No. 2/2024 yang mengatur PLTS on grid. Namun, kami melihat ketiadaan skema net-metering menjadi perhitungan tersendiri bagi masyarakat yang ingin memasang PLTS. Untuk itu, diperlukan subsidi khusus bagi konsumen rumah tangga untuk meningkatkan pemasangan PLTS,” kata Alvin.
Integrasi variabel energi terbarukan (variable renewable energy, VRE) membutuhkan instalasi teknologi penyimpanan energi (energy storage storage – ESS). Agak berbeda dengan perkembangan energi terbarukan seperti energi surya yang mulai ramai diperbincangkan, perkembangan teknologi penyimpanan energi lamban serta diskusi publiknya jarang terdengar. IESR untuk pertama kalinya mengeluarkan laporan yang menilai perkembangan penyimpanan energi di Indonesia dalam Powering the Future: An Assessment of Energy Storage Solutions and The Applications for Indonesia.
His Muhammad Bintang, Koordinator Riset Sumber Daya Energi dan Listrik IESR, mengatakan bahwa proyek penyimpanan energi skala besar digunakan sebagai enabler (pendorong) proyek integrasi VRE yang semakin besar.
“Harga energy storage juga terus mengalami penurunan, sehingga tidak lagi menjadi komponen tambahan (sidekick) dari integrasi VRE, dan saat ini secara global terdapat 88 GW kapasitas (proyek) penyimpanan energi dalam pembangunan,” kata Bintang.
Rachmat Kaimuddin, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, mengatakan bahwa peluncuran dua studi ini, Indonesia Solar Energy Outlook 2025 dan Indonesia Energy Storage System sangat relevan dengan situasi saat ini di mana pemerintah sedang memperbarui berbagai kebijakan energi.
“Studi ini menjadi relevan seiring dengan ambisi pertumbuhan ekonomi 8 persen yang perlu beriringan dengan penggunaan energi berkelanjutan karena saat ini Indonesia masih bergantung pada energi fosil,” katanya.
Rachmat menambahkan bahwa dunia akan membutuhkan produk yang diproduksi dengan intensitas karbon yang rendah. Percepatan transisi energi penting untuk membawa Indonesia masuk dalam lingkaran tersebut.
Zainal Arifin, EVP Energi Terbarukan, PT PLN, mengatakan bahwa kombinasi variabel energi terbarukan dan sistem penyimpanan energi seperti baterai akan menjadi game changer (penentu) penyediaan energi secara keseluruhan.
“Agar VRE dapat masuk (jaringan) harus dibuat dulu grid yang fleksibel. Bukan hanya secara teknis sistemnya namun bisa juga market dan regulasi yang fleksibel,” katanya.
Harris, Kepala Balai Besar Survei dan Pengujian Ketenagalistrikan Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, menyatakan bahwa dalam agenda menuju net-zero emission, Indonesia harus memanfaatkan semua sumber energi terbarukan yang dimiliki.
“Ke depan kita tidak hanya bicara energinya saja, namun juga aspek integrasi lingkungan. Kita mau ketahanan energinya tinggi juga dampak terhadap lingkungannya rendah. Jawaban untuk kebutuhan ini adalah renewable energy,” katanya.
Enda Ginting, Country Manager Gurin Energy Indonesia, membagikan perspektif tentang kebutuhan membangun ekosistem manufaktur energi terbarukan seperti panel surya, baterai, inverter untuk menjalankan berbagai proyek strategis.
“Kalau memang mau melakukan perubahan, harus melakukannya dalam skala besar, bukan hanya skala proyeknya, perlu ekosistemnya berubah,” katanya.