Palembang, 29 Mei 2024 – Krisis iklim telah membawa berbagai bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi. Dunia tidak dapat memitigasi bencana yang diakibatkan krisis iklim tanpa mengatasi akar penyebabnya, yaitu ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, khususnya batubara. Mengutip studi IEA, lebih dari 95% konsumsi batubara global terjadi di negara-negara yang telah berjanji untuk menurunkan emisinya.
Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, penggunaan energi fosil ini menghasilkan emisi dalam jumlah besar. Emisi ini memerangkap panas di atmosfer yang memicu suhu bumi meningkat dari waktu ke waktu. Berkaca dari kondisi tersebut, untuk menggantikan energi fosil, perlu dilakukan transisi menuju energi terbarukan.
“Dalam proses peralihan tersebut, otomatis akan ada peralihan penggunaan energi fosilnya, termasuk batubara. Hal ini akan berdampak terhadap daerah penghasil batubara, mengingat sektor batubara bukan hanya menggerakkan sektor energi saja, tetapi juga perekonomian. Artinya, kita perlu mengantisipasi dampak dari transisi energi di sektor batubara tersebut agar tidak membuat sengsara masyarakat,” papar Marlistya dalam Dialog Palembang Pagi Transisi Energi Daerah Penghasil Batubara di RRI Pro1 Palembang pada Rabu (29/5/2024).
Marlistya menegaskan, ketika mendorong transisi energi di daerah penghasil batubara, perlu dilakukan juga diversifikasi dan transformasi ekonomi untuk mengantisipasi dampak sosial dan ekonomi dari penurunan industri batubara. Berdasarkan studi IESR, kata Marlistya, sektor unggulan di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan yakni akomodasi dan jasa makanan karena kinerjanya yang lebih baik dibandingkan dengan daerah sekitarnya yang dapat didorong untuk transformasi ekonomi.
“Ketika melakukan perencanaan transisi energi ini juga tak lepas dari potensi energi terbarukan suatu wilayah. Misalnya saja, potensi energi terbarukan di Sumatera Selatan itu tinggi, khususnya biomassa karena terdapat banyak limbah pertanian dan perkebunan yang bisa dimanfaatkan. Contohnya, pemanfaatan sekam padi untuk membangkitkan listrik, sehingga tidak ada limbah sekam padi yang berpotensi mengganggu lingkungan,” ujar Marlistya.
Selain itu, Marlistya menuturkan, energi surya juga menjadi energi terbarukan yang potensial untuk dimanfaatkan di Sumatera Selatan karena pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) ini mudah dipasang. Pada PLTS skala besar (di atas 10 MW) membutuhkan lahan yang luas. Namun ada juga PLTS yang tidak memerlukan lahan luas, seperti penggunaan PLTS atap berkapasitas beberapa kWp hingga sekecil lampu meja dan power bank.
Aryansyah, Kepala Bidang Energi, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sumatera Selatan menuturkan, sekitar 20 persen pendapatan asli daerah di Sumatera Selatan bergantung terhadap sektor batubara, sehingga pelaksanaan transisi energi perlu dilakukan seksama dan hati-hati. Aryansyah menyatakan, kebutuhan energi menjadi hak bagi masyarakat. Untuk itu, penyampaian kepada masyarakat juga perlu dilakukan secara jelas agar tidak menimbulkan kepanikan.
“Dalam rangka melakukan sosialisasi transisi energi ini, pemerintah juga berkolaborasi dengan lembaga non-pemerintah seperti IESR ini melalui program Jelajah Energi Sumatera Selatan yang beberapa waktu lalu dilaksanakan. Di mana kita mengajak anak muda, akademisi dan jurnalis untuk melihat pembangkit energi terbarukan secara langsung. Kita juga berkolaborasi dengan investor yang masuk untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan. Berdasarkan data Dinas ESDM, Provinsi Sumatera Selatan memiliki potensi teknis energi terbarukan mencapai 21.032 MW,” kata Aryansyah.
transisi energi, Sumatera Selatan, energi terbarukan, batubara, krisis iklim, IESR, PLTS, biomassa, diversifikasi ekonomi