Jakarta, 7 April 2022 – Terletak di garis khatulistiwa, Indonesia dikaruniai potensi energi surya yang melimpah. Kajian Institute for Essentials Services Reform bertajuk, “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential” menunjukkan bahwa berdasarkan kesesuaian lahan terdapat 3 – 20 TWp potensi surya yang dapat menghasilkan listrik hingga 4,7 – 27 TWh per tahun. Potensi yang besar tersebut sayangnya tidak diikuti dengan pemanfaatan yang baik. Kementerian ESDM mencatat hingga akhir tahun 2021 total kapasitas energi surya di Indonesia hanya sekitar 200 MW.
Fabby Tumiwa, Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) dan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam South Korea Renewable Energy Investment Forum, mengatakan prospek pasar tenaga surya terlihat menjanjikan terutama sejak akhir tahun 2021 ketika PLN mengumumkan RUPTL terbarunya yang memberikan ruang yang luas untuk energi terbarukan.
“Energi surya menjadi fokus pemerintah dalam RUPTL untuk mencapai target RUEN 23% pada tahun 2025 serta net-zero emissions pada tahun 2060 atau lebih cepat. Perbaikan regulasi pada berbagai jenis PLTS seperti rooftop maupun terapung perlu terus diupayakan,” kata Fabby.
Eka Satria, CEO Medco Power Indonesia, berbagi pandangannya tentang transisi energi yang terjadi di Indonesia saat ini. Menurutnya keberhasilan transisi energi ditentukan oleh kebijakan pemerintah.
“Transisi energi membutuhkan lingkungan yang berbeda untuk tumbuh. Kita tidak bisa begitu saja menyerahkannya pada mekanisme pasar di mana konsumen memilih energi seperti apa yang ingin mereka gunakan. Apalagi di awal, perlu adanya policy-driven action,” jelas Eka.
Eka menambahkan, best practice di negara-negara yang telah memulai transisi energi sejak dini selalu diinisiasi oleh Pemerintah yang menetapkan kebijakan untuk mendorong penyedia energi dan konsumen energi beralih ke energi terbarukan.
Byeongwoo Jeon, Managing Director Global Business Department KEPCO KDN, menyampaikan apresiasinya bahwa pengembangan energi terbarukan di Indonesia semakin menarik namun serangkaian tantangan masih menghantui.
“Pembebasan lahan adalah tantangan nomor satu yang kami alami. Di daerah yang kebutuhan energinya tinggi, biasanya ketersediaan lahan juga terbatas,” katanya.
Jeon juga menyoroti proses kompleks untuk mendapatkan pembiayaan proyek-proyek energi terbarukan. Regulasi yang ada saat ini seperti persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dan proses PPA (power purchase agreement) yang berlangsung lama membuat proyek-proyek terbarukan sulit mendapatkan pembiayaan.
Fabby Tumiwa menambahkan selain proses PPA yang harus dipersingkat, regulasi yang konsisten juga penting untuk memberikan keyakinan pada investor dan dunia usaha untuk menanamkan modalnya di proyek energi terbarukan di Indonesia.
“PLN juga harus segera mengimplementasikan Permen 26/2021 tentang pelanggan surya atap untuk mempercepat adopsi PLTS atap,” katanya.
Permen ESDM no 26/2021 tentang PLTS atap ini memuat beberapa poin perbaikan dari Permen ESDM no 49/2018 sebelumnya seperti tarif ekspor-impor yang menjadi 1:1, jangka waktu reset yang lebih lama, dan waktu yang lebih singkat untuk mendapatkan persetujuan pemasangan PLTS atap, namun aturan ini belum diimplementasikan oleh PLN meskipun secara resmi telah dikeluarkan oleh Kementerian ESDM per Januari 2022.