Jakarta, 20 April 2022– Isu pembiayaan masih menjadi salah satu kendala besar dalam pengembangan energi terbarukan seperti PLTS atap di Indonesia. Terdapat jarak (gap) yang cukup besar antara agenda pemerintah untuk mempercepat penetrasi surya dengan akses pada pendanaan baik untuk proyek developer maupun skala rumah tangga. Sulitnya akses pendanaan juga dapat menjadi tantangan pengembangan energi surya di Indonesia.
Antusiasme untuk mengembangkan energi surya berkembang pesat di Indonesia. Dalam Indonesia Solar Summit 2022 setidaknya 31 pihak berkomitmen untuk memasang PLTS dengan kapasitas mencapai 2.300 MW. Ketersediaan mekanisme pembiayaan yang murah dapat mendukung tercapainya komitmen tersebut.
Elvi Nasution, Direktur Solutions Initiatives, menjelaskan bahwa terdapat satu skema pembiayaan yang belum banyak tersedia yaitu project financing. Project financing adalah pembiayaan terbatas dari proyek baru yang akan dijalankan melalui pendirian perusahaan baru (terpisah dari perusahaan existing). Lembaga pemberi project finance dapat berupa bank atau lembaga keuangan khusus (special mission vehicle).
“Dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, dan Filipina project financing di Indonesia tergolong mahal. Faktor penyebabnya antara lain jaminan pemerintah, jumlah hutang, dan struktur bisnis kelistrikan yang saat ini dimonopoli oleh PLN, sehingga pengembang kerap menemui kesulitan sebab hanya ada satu offtaker di Indonesia,” jelas Elvi.
Jagjeet Shareen, Asisten Director General International Solar Alliance, dalam forum yang sama melihat pentingnya peran institusi keuangan seperti bank untuk ikut serta dalam percepatan penetrasi surya.
“Memberikan training pada pegawai bank penting untuk membuat mereka mengenal karakter dan menghitung risiko pembiayaan untuk PLTS. Biaya pemasangan PLTS mungkin masih relatif mahal, namun sebenarnya tidak terlalu mahal karena biaya PLTS terus mengalami penurunan,” katanya.
Jagjeet membagikan pengalaman India dalam untuk memberikan training masif pada pegawai bank yang berdampak signifikan sebab pihak bank kemudian menjadi lebih familiar dengan proyek-proyek PLTS, risiko serta kesempatan pengembangannya.
Baik Elvi dan Jagjeet sepakat bahwa untuk mempercepat penetrasi PLTS, diperlukan sinergi berbagai pihak seperti lembaga keuangan yang perlu mempelajari struktur pembiayaan berdasarkan kondisi dan potensi di tiap-tiap lokasi.
PLN sebagai single offtaker di Indonesia juga perlu mentransformasi model bisnisnya supaya relevan dengan situasi saat ini dan ke depan di mana energi terbarukan akan semakin besar porsinya. Khusus untuk pengembangan surya, PLN perlu membuat perencanaan lelang teratur dan mematangkan rencana pengembangan (pipeline). Perencanaan proyek yang baik dan jelas akan meningkatkan keyakinan investor dan lembaga keuangan untuk mendanai suatu proyek PLTS.
Calon pengguna PLTS atap sudah sedikit banyak mengetahui situasi pengembangan energi surya di Indonesia yang masih perlu banyak perbaikan. Erwin Kasim, salah satu peserta workshop Financing Solar Energy Indonesia Solar Summit 2022, menanyakan tentang minimnya subsidi biaya pemasangan awal bagi rumah tangga yang ingin memasang PLTS atap dan kira-kira skema apa yang dapat dipertimbangkan untuk meringankan calon konsumen PLTS atap.
Pihak bank, sebagai pihak yang diharapkan menyediakan solusi bagi permasalahan biaya awal ini menekankan peran pemerintah dalam membuat kebijakan yang ramah bagi semua pihak dalam pengembangan PLTS atap ini.
“Penggunaan surya perlu ada campur tangan pemerintah untuk membuat skema, melindungi bank dari gagal repayment, dan insentif,” tutur perwakilan Bank Rakyat Indonesia yang hadir dalam forum yang sama.
Peran Pemerintah untuk menerbitkan kebijakan pembiayaan PLTS atap yang ramah pelanggan memang sangat dinanti. Sebab saat ini, pembiayaan melalui pihak bank terjadi karena adanya kesepakatan antara pihak pengembang dengan bank tanpa ada kebijakan khusus dari pemerintah yang mengatur tentang pembiayaan PLTS atap oleh bank.