Jakarta, 30 Agustus 2024 – Seiring krisis iklim yang kian nyata, Pemerintah Indonesia berkomitmen melakukan penurunan emisi dalam kontribusi pencapaian nir emisi (net zero emissions, NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Salah satu komitmen tersebut yakni penerapan pajak karbon.
Pajak karbon merupakan pajak yang dikenakan terhadap setiap produk atau barang yang menghasilkan emisi, berdasarkan Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Dari aspek lingkungan, penerapan pajak karbon berfungsi sebagai biaya (retribusi) emisi gas rumah kaca (GRK) dari bahan bakar fosil yang menyebabkan pemanasan global. Dari aspek ekonomi, penerapan pajak karbon dapat meningkatkan pendapatan negara, terutama pada sektor penghasil emisi yang belum dikenai pajak emisi. Sedangkan dari aspek dunia usaha, pajak karbon dapat digunakan sebagai alat untuk mendorong praktik bisnis yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Penerapan pajak karbon ini bertujuan utama untuk mengurangi dampak negatif perubahan iklim dan memperbaiki kualitas lingkungan. Kebijakan pajak karbon harusnya mulai diterapkan sejak 1 April 2022. Kebijakan pajak karbon sesuai dengan amanat Undang Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Sementara, ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban Wajib Pajak diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. Namun demikian, penerapan pajak karbon ditunda dan akan mulai berlaku 2025 mendatang, salah satunya karena mempertimbangkan kestabilan ekonomi nasional.
Pengenaan pajak karbon diarahkan kepada badan atau perusahaan yang bergerak di bidang pembangkitan listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar utama. PLTU batubara menjadi target pertama karena sektor ini merupakan salah satu penyumbang terbesar emisi karbon di Indonesia. Nantinya, penggunaan dana dari pajak karbon untuk mendorong pengembangan dan pemanfaatan energi bersih atau terbarukan.
Beberapa negara di dunia juga telah menerapkan pajak karbon. Berdasarkan data Statista, Uruguay memiliki tingkat pajak karbon tertinggi di seluruh dunia per April 2024, yaitu 167 dolar AS per metrik ton setara CO₂ (USD/tCO₂e). Meskipun merupakan yang termahal di seluruh dunia, pajak karbon Uruguay hanya mencakup sekitar lima persen dari emisi gas rumah kaca di negara tersebut. Sementara, Finlandia sebagai negara pertama di dunia yang menerapkan pajak karbon, memiliki tarif hampir 100 USD/tCO₂e.
Wira A Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau, Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan Indonesia seharusnya telah mengembangkan dan melakukan diskusi berkaitan pajak karbon dengan multipihak. Hal ini menjadi krusial untuk upaya pemberian disinsentif kepada badan usaha yang menghasilkan banyak emisi melalui instrumen fiskal, khususnya melalui pajak karbon.
“Dengan adanya diskusi yang menyeluruh dengan berbagai pihak, Indonesia diharapkan dapat memberi nilai pajak karbon yang pas untuk memberi efek jera kepada pelaku usaha yang menghasilkan emisi karbon sehingga dapat mendukung pencapaian NZE lebih cepat lagi. IESR melihat nilai yang saat ini dicanangkan pemerintah, yaitu sekitar USD 2/tCO2e atau sekitar Rp30 ribu/tCO2e berdasarkan Kementerian Keuangan, belum mampu menghasilkan efek jera bagi pengusaha karena nilainya yang masih murah,” kata Wira.
Berdasarkan studi IESR berjudul Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024, sejalan dengan praktik-praktik internasional, Pemerintah Indonesia harus memasukkan kenaikan tarif pajak karbon secara bertahap yang menguraikan tonggak dan target untuk setiap penyesuaian. Di lain sisi, perlu juga terdapat peta jalan (road map) implementasi pajak karbon. Dengan adanya peta jalan tersebut, industri nantinya juga dapat menyiapkan diri dalam penerapannya.