Jakarta, 20 Desember 2023 – KTT Iklim COP 28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) telah berakhir pada Rabu (13/12/2023) siang, dengan menghasilkan beberapa kesepakatan diantaranya menyerukan peralihan dari transisi bahan bakar fosil, serta meningkatkan kapasitas energi terbarukan global sebanyak tiga kali lipat. Selain itu, COP 28 berhasil menggalang pendanaan senilai USD 85 miliar serta 11 janji dan deklarasi yang berkomitmen terhadap aksi iklim.
Sicha Alifa Makahekum, Staff Program Ekonomi Hijau, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai adanya berbagai kesepakatan tersebut sebaiknya diiringi dengan komitmen pendanaan yang kuat. Menurutnya, tanpa dukungan finansial yang memadai, pencapaian target-target tersebut mungkin akan sulit dilakukan. Pendanaan USD 85 miliar dari hasil COP 28 dapat menjadi langkah awal yang signifikan. Namun, perlu adanya komitmen lebih lanjut baik dari pemerintah maupun sektor swasta untuk memastikan bahwa angka tersebut tidak hanya menjadi angka nominal, tetapi benar-benar tersalurkan untuk mendukung aksi iklim.
“Seiring kesepakatan tersebut, Indonesia sendiri juga memiliki target untuk mencapai 44% bauran energi terbarukan pada 2030 dalam kerangka Just Energy Transition Partnership (JETP). Pemerintah Indonesia perlu fokus juga untuk mengejar target JETP, melakukan reformasi kebijakan dan peningkatan komitmen pembuat kebijakan untuk mengejar target JETP,” ujar Sicha di X Space IESR dengan topik “After COP28, What’s Next?” pada Rabu (20/12).
Arief Rosadi, Koordinator Proyek Diplomasi Iklim, IESR menyatakan, untuk pertama kalinya COP 28 membahas hasil dari Global Stocktake atau Inventarisasi Global. Dari penilaian tersebut, Indonesia tidak bisa mencapai target pada Persetujuan Paris 2015 dan perlu mengejar ketertinggalannya.
“Indonesia perlu melakukan penguatan komitmennya melalui second NDC yang akan lebih ambisius dan akan lebih selaras pada upaya-upaya untuk menjaga agar kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi tidak lebih dari 1,5°C. Saya berharap NDC terbaru nantinya dapat merefleksikan untuk mengejar target kapasitas energi terbarukan global sebanyak tiga kali lipat serta meningkatkan efisiensi energi juga serta mampu mengakomodir konsep just transition secara jelas,” papar Arief Rosadi.
Arief menekankan, second NDC juga perlu merefleksikan isu lainnya berkaitan dengan perubahan iklim di tingkat tapak. Misalnya saja, gender dan inklusi sosial, indikatornya harus terukur detail dan perlu membuat peta jalan yang selaras dari kebijakan iklim serta strateginya. Lebih lanjut, berkaitan dengan sektor energi, Arief menyatakan, diperlukan komunikasi yang intens di tingkat pemerintah nasional serta harmonisasi kebijakan yang sudah ada dengan dokumen kebijakan iklim terbaru.
“Apabila kita melihat lima tahun terakhir, proses updating kebijakan iklim di Indonesia sangat cepat. Hanya saja, tantangannya yakni proses harmonisasi di tingkat pemerintah memerlukan waktu yang lebih banyak. Semua sektor terkait perubahan iklim pasti akan diarahkan untuk pemenuhan target NDC,” ujar Arief.
Menjelang Pemilu 2024, Arief dan Sicha berharap agar calon presiden serta calon legislatif yang terpilihnya dapat meningkatkan urgensi dalam menangani perubahan iklim. Salah satunya dengan menggencarkan isu perubahan iklim dan transisi energi.
“Polarisasi terhadap isu perubahan iklim iklim makin parah akibat efek ruang gema (echo chamber) dalam media sosial, di mana paparan informasi hanya menggemakan satu suara penyangkalan dan kebal koreksi dari penjelasan ilmiah. Selain itu, terkadang hanya kalangan tertentu saja yang membahasnya. Kita harus bisa membuat orang awam juga mengerti urgensi perubahan iklim dan transisi energi. Selain itu, kita juga perlu mengintensifkan pendekatan bilateral untuk melakukan dekarbonisasi, tidak hanya aktif di dalam forum internasional semata,” tegas keduanya.