Mendemokratisasi Energi: Mematahkan ketergantungan yang terus menerus pada raksasa fosil

Hujan deras mengguyur daerah Cisarua, jauh di Kabupaten Sukabumi, Banten, ketika kami berhenti untuk berteduh di pembangkit listrik tenaga mikrohidro Ciganas yang sudah agak rusak. Pembangkit listrik berkapasitas 80 kW ini cukup untuk mengalirkan listrik ke sekitar 100 rumah di Desa Adat Cipta Rasa. Sejak beroperasi pada tahun 1995, pemerintah desa telah membentuk tim khusus untuk mengoperasikan dan memelihara pembangkit listrik ini dan juga membuat sistem penagihan berbasis perangkat mereka sendiri hingga saat ini, bahkan setelah sambungan listrik ke jaringan PLN tersedia pada tahun 2022. Lahir dan dibesarkan di lingkungan perkotaan di Indonesia, konsep demokratisasi pasokan energi masih sangat asing bagi sebagian besar dari kita, sementara Daday-‘pemandu’ lokal kami untuk studi lapangan Cipta Rasa ini-menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan sebuah norma yang sudah biasa. Meskipun pembangkit listrik kecil mereka bahkan tidak cukup untuk menyalakan sebuah gedung perkantoran menengah di Jakarta, mereka memiliki sesuatu yang jauh lebih mewah daripada kebanyakan dari kita: kehendak bebas untuk mengelola sumber energi mereka sendiri. Demokrasi dan kemandirian energi, meskipun terlalu sering digunakan sebagai jargon oleh para politisi dan birokrat Indonesia, merupakan praktik sehari-hari bagi masyarakat seperti warga Cipta Rasa; mereka yang tidak takut untuk mendesain ulang cara hidup mereka di luar batas imajinasi kita yang biasa.

Kebanyakan orang Indonesia menerima begitu saja cara konsumsi energi. Listrik pada akhirnya akan disediakan oleh PLN, bahkan tanpa mengetahui sumber maupun prosesnya. Meskipun kesadaran akan ketergantungan kita yang berlebihan terhadap energi batu bara terus meningkat, hal ini tidak mengubah fakta bahwa konsumsi batu bara domestik setiap tahunnya juga meningkat sekitar 61% pada tahun 2020-2023, yang sebagian besar digunakan untuk pembangkit listrik. Pada akhirnya, kita akan membeli bensin untuk kendaraan sehari-hari dan LPG untuk kebutuhan memasak sehari-hari, sementara Indonesia berisiko menjadi negara yang sepenuhnya bergantung pada impor minyak pada tahun 2040 – sebuah penurunan besar dari masa-masa kejayaan sebagai negara pengekspor minyak. Meskipun istilah ‘transisi energi’ telah digunakan secara luas sejak pemerintah Indonesia mengumumkan ambisi nol karbon di Glasgow COP26, istilah ini belum benar-benar mengubah keseluruhan cara kita mengonsumsi energi. Sebagian besar dari kita sebenarnya memiliki kapasitas yang terbatas untuk membayangkan kemungkinan-kemungkinan alternatif tentang bagaimana energi dapat disediakan, atau utopia ideal tentang bagaimana energi seharusnya disediakan. Namun, hal ini tidak sepenuhnya salah masyarakat karena ketidaktahuan mereka; kita hanya diberi terlalu sedikit alternatif (atau mungkin tidak sama sekali) oleh pihak berwenang yang bertanggung jawab untuk waktu yang terlalu lama.

Seiring dengan dimulainya perjalanan baru Indonesia dengan Kebijakan Energi Nasional yang akan disahkan tahun ini, inilah saat yang tepat bagi pemerintah Indonesia untuk keluar dari jargon “demokrasi energi” yang sudah ketinggalan jaman dan memberikan pilihan kepada masyarakat untuk memiliki masa depan yang bebas dari energi fosil. Perjalanan demokratisasi penggunaan energi ini dimulai dengan langkah yang tidak mudah: memutus ketergantungan pada sumber energi berbasis fosil. Tidak akan ada demokrasi energi selama pasokan energi kita terus bergantung pada beberapa raksasa fosil, sementara pada saat yang sama menempatkan masyarakat berpenghasilan rendah di depan risiko krisis iklim karena tingkat emisi yang terus meningkat. Meskipun hal ini cukup menantang karena ketergantungan ekonomi yang besar terhadap bahan bakar fosil, hal ini dapat dilakukan tanpa menghambat harga energi atau pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Mengoperasikan pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) secara fleksibel dapat membantu mengintegrasikan volume energi terbarukan yang lebih besar (VRE), menurunkan pemanfaatan pembangkit secara keseluruhan, dan mengurangi kebutuhan pembangkit listrik tenaga gas, sehingga pada akhirnya dapat mengurangi biaya listrik secara keseluruhan. Dengan biaya energi terbarukan yang menurun dalam beberapa tahun terakhir (terutama tenaga surya dan angin), substitusi energi terbarukan dapat memberikan pengurangan emisi hingga 26% dan menghapus penggunaan batu bara di pembangkit listrik industri. Pengalihan ketergantungan bahan bakar fosil pada sektor transportasi harus dimulai dengan menyediakan infrastruktur yang lebih baik untuk elektrifikasi jalan raya (misalnya, stasiun pengisian daya atau penukaran baterai) untuk melengkapi peningkatan kebijakan yang berorientasi pada angkutan umum.

Langkah terakhir menuju demokratisasi energi lebih rumit dari yang terlihat: mengizinkan (atau bahkan lebih jauh lagi, memberi insentif) lebih banyak partisipasi dalam mengembangkan sumber energi rendah karbon. Hampir tidak mungkin untuk mendemokratisasi penggunaan energi dengan hanya mengandalkan beberapa aktor yang terpusat. Adopsi yang lebih banyak dari PV atap dan teknologi pembangkit terdistribusi lainnya harus didorong dengan menyediakan stabilitas regulasi dan infrastruktur jaringan yang tepat. Meskipun energi terbarukan di lokasi mungkin tidak memadai untuk pabrik industri karena konsumsi energinya yang besar, memungkinkan pembelian energi terbarukan secara langsung melalui power wheeling dapat memberikan alternatif rendah karbon untuk jaringan PLN yang didominasi oleh fosil saat ini. Terakhir, partisipasi yang berarti dari pemerintah daerah juga harus didorong dalam perencanaan infrastruktur terkait energi. Dengan menerapkan langkah-langkah ini, kita akhirnya dapat memiliki Cipta Rasa kita sendiri di setiap lingkungan di Indonesia.

Share on :

Leave a comment