Mendorong Ambisi Iklim yang Lebih Kuat di Asia Tenggara

Bangkok, 1 Oktober 2025 – Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang paling rentan terkena dampak dari krisis iklim akibat suhu bumi yang terus meningkat. Negara-negara  seperti Filipina, Indonesia, Thailand, dan Vietnam bahkan sudah mencatat peningkatan bencana hidrometeorologi, pola cuaca yang semakin tidak menentu, dan kenaikan muka air laut.

Kondisi sektor energi Asia Tenggara yang masih didominasi sumber energi fosil berkontribusi pada pertumbuhan emisi GRK yang signifikan. Institute for Essential Services Reform (IESR) mengkalkulasi bahwa tanpa adanya intervensi kebijakan, energi fosil diproyeksikan akan terus mendominasi 80% lanskap energi di Asia Tenggara. Hal ini akan berkontribusi pada peningkatan emisi dan temperatur bumi.

Dalam diskusi panel bertajuk After the First Global Stocktake: Fostering Southeast Asia Energy Transition Agenda Toward 1.5-degree Target of Paris Agreement, Fabby Tumiwa CEO Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan bahwa hasil global stocktake  merupakan alarm pengingat bahwa upaya dunia saat ini tidak berada di jalur yang tepat untuk membatasi kenaikan temperatur bumi. Jika keadaan ini terus dibiarkan, negara-negara di global selatan (global south) akan menanggung dampak yang paling berat.

“Negara-negara Asia Tenggara berada pada momen krusial yang menentukan arah pertumbuhan ekonominya. Pilhannya, tetap  bergantung pada energi fosil dan kehilangan kesempatan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, atau memilih untuk memperkuat komitmen iklim. Komitmen iklim yang kuat akan melindungi penduduk, memposisikan kawasan sebagai pemimpin transformasi global, sekaligus menangkap peluang pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan lebih hijau,” katanya.

Fabby menambahkan terdapat tiga hal utama yang harus dilakukan ASEAN untuk memastikan aksi iklimnya sejalan dengan trajektori 1.5 derajat. Pertama, tingkatkan ambisi dan kebijakan iklim negara-negara Asia Tenggara. Kedua, perkuat kerjasama regional. Ketiga, mobilisasi pembangunan inklusif. Faktor inklusivitas penting untuk didorong sebab transisi energi harus membangkitkan pekerjaan hijau, melindungi komunitas dan kelompok rentan, dan menciptakan kesempatan untuk inovasi.

Transisi menuju sistem energi bersih bukanlah sebuah kemewahan—melainkan keharusan ekonomi yang mendesak. Transisi meninggalkan bahan bakar fosil merupakan hal yang tak terelakkan, kawasan Asia Tenggara harus mengambil pendekatan transisi yang proaktif sehingga dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya, dan menghindari biaya yang timbul akibat mempertahankan infrastruktur energi fosil.

Natharoun Ngo S., Regional Director EnergyLab Asia menambahkan pentingnya untuk  menggalang inisiatif transisi energi pada skala Asia Tenggara.

“Tentu akan banyak tantangan, namun dengan kita meningkatkan kolaborasi dan kerjasama pada level Asia Tenggara, kita akan dapat saling berbagi praktik baik dan mengisi kebutuhan antar negara ,” kata Ngo.

Share on :

Leave a comment