Jakarta, 20 Mei 2025 – Asia Tenggara menjadi kawasan dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 5 persen dalam lima tahun berturut-turut. Pertumbuhan ini mengungguli negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang berada pada kisaran 2,3 persen. Tren pertumbuhan ekonomi ini dibarengi dengan permintaan energi yang diproyeksikan akan terus meningkat. Permintaan akan energi terbarukan diproyeksikan meningkat 3-5 kali lipat pada 2035. ASEAN memiliki target bauran energi terbarukan sebanyak 23 persen pada 2025, namun saat ini ASEAN baru mencatatkan 19 persen energi terbarukan pada bauran energinya.
Arief Rosadi, Manajer Program Diplomasi Isu Energi dan Iklim Institute for Essential Services Reform (IESR), menyatakan bahwa ASEAN memiliki sejumlah tantangan sistematis meliputi pembiayaan, mikroekonomi, hingga kebijakan.
“Hal ini membuat ASEAN kerap kali kehilangan momentum dan kesempatan untuk mengambil peran yang lebih strategis dalam perundingan global dan peluang memperkuat pertumbuhan ekonominya,” kata Arief pada webinar ASEAN+3 Green Transition.
Arief juga menambahkan dengan masih berlangsungnya perang dagang antara Amerika Serikat dengan China, kawasan ASEAN berpeluang untuk mengambil kesempatan untuk menjadi pusat (hub) industri manufaktur energi terbarukan. Untuk mencapai hal ini, terdapat sejumlah prasyarat meliputi cara menarik investasi, mendorong kerja sama regional, dan mempercepat integrasi kawasan untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Menurut Arief, mendorong ASEAN untuk terus mengejar transisi hijau bukan hanya akan berdampak pada lingkungan yang lebih terjaga, namun juga akan membawa dampak pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Sharon Seah, Senior Fellow Yusof Ishak Institute (ISEAS), Singapura dan Koordinator ASEAN Studies Centre and Climate Change in Southeast Asia Programme, mengatakan bahwa pengalaman China yang berhasil melakukan transisi secara masif dan sistematis dapat menjadi model pembelajaran bagi Asia Tenggara. China tercatat menaikkan kapasitas energi terbarukan (energi surya dan angin) hingga sebanyak 1.482 GW pada tahun 2024. Besaran kapasitas ini telah melampaui kapasitas pembangkit fosilnya.
“China telah memperoleh manfaat ekonomi dan posisi strategis dari transisi hijaunya. Telah ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa regulasi dan subsidi hijau China benar-benar telah merangsang pertumbuhan ekonomi sekaligus mendorong adopsi energi terbarukan. Hal ini dapat dilihat sebagai contoh nyata bagi negara-negara di Asia Tenggara bahwa dengan mengejar agenda transisi hijau, pertumbuhan ekonomi akan terus bertumbuh,” katanya.