Jakarta, 18 Maret 2025 – Dekarbonisasi sistem energi perlu dilakukan dengan cepat dan menyeluruh. Penggunaan teknologi yang telah terbukti efektivitas dan skala ekonominya menjadi penting. Selain itu, pengembangan dan inovasi untuk teknologi baru yang lebih matang dan efisien perlu terus dilakukan. Hidrogen adalah salah satu contoh teknologi yang terus dikembangkan dan diproyeksikan untuk berperan menggantikan bahan bakar fosil pada sektor-sektor yang dikategorikan sebagai sektor hard to abate (sulit diturunkan emisinya) karena kebutuhan intensitas energinya yang tinggi.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam webinar Road to GHES 2025 – Pemanfaatan Hidrogen Hijau sebagai Upaya Dekarbonisasi di Indonesia yang diselenggarakan oleh IESR bekerja sama dengan Kedutaan Besar Inggris di Jakarta melalui proyek Green Energy Transition Indonesia (GETI), menyatakan bahwa hidrogen akan berperan penting dalam proses dekarbonisasi, namun perlu menjadi catatan tidak semua jenis hidrogen memiliki dampak penurunan emisi yang sama.
“Saya percaya hidrogen hijau yang paling selaras dengan peta jalan net zero emission sehingga untuk mendapatkan dampak penurunan emisi secara maksimal,” kata Fabby.
Fabby menambahkan bahwa terdapat upaya global untuk menurunkan biaya produksi hidrogen hijau meliputi pengembangan teknologi hidrogen hijau yang semakin matang, peningkatan investasi hidrogen hijau pada lima tahun terakhir. Selain itu, proyek hidrogen juga memberikan manfaat ekonomi mulai dari penciptaan lapangan kerja hingga keuntungan ekonomis dari proyek hidrogen hijau itu sendiri.
Andriah Feby Misna, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Kementerian ESDM menjelaskan bahwa Indonesia telah menyusun Roadmap Hidrogen dan Amonia Nasional (RHAN) yang akan menjadi pedoman pengembangan dan pemanfaatan hidrogen sebagai strategi dekarbonisasi Indonesia.
“Saat ini sampai tahun 2034 kita berada di fase inisiasi. Kita fokus pada persiapan seperti penyusunan strategi, peta jalan, juga melakukan studi kelayakan untuk berbagai aspek, seperti produksi, penyimpanan, transportasi, dan pemanfaatan hidrogen dan amonia. Selain itu, kami sedang menyusun regulasi terkait hidrogen,” kata Feby.
Farid Wijaya, Analis Senior Material Dan Energi Terbarukan IESR, menyatakan bahwa dalam 10 tahun ke depan ekosistem hidrogen akan berkembang mulai dari pemanfaatan hingga produksi mengingat hidrogen adalah sumber bahan baku yang konsisten penyimpanan energi maupun sumber energinya.
“Adanya kesepakatan internasional untuk mengurangi emisi seperti Paris Agreement dan CBAM menjadi salah satu faktor pendorong ekosistem hidrogen. Dalam konteks domestik (Indonesia) adanya kawasan industri dan ekonomi prioritas dengan kebutuhan konsumsi energi tinggi namun harus menekan emisi dari produk yang dihasilkan,” jelas Farid.
Deni Shidqi Khaerudini, Deputi II, Indonesia Fuel Cell and Hydrogen Energy (IFHE), menyatakan bahwa hidrogen akan menjadi game changer dalam dekarbonisasi.
“Indonesia telah memiliki target penggunaan hidrogen seperti IKN yang menargetkan 20% energinya dari hidrogen hingga tahun 2038. Untuk saat ini beberapa tempat sudah mulai mengembangkan hidrogen seperti Samator namun masih berbasis grey hidrogen,” katanya.
Wangi Pandan Sari, Tenaga Ahli Bidang Teknik Industri, Pusat Studi Energi (PSE), Universitas Gajah Mada, mengatakan bahwa meskipun hidrogen dianggap sebagai solusi energi bersih, seluruh rantai produksinya harus dipastikan bebas dari emisi karbon.
“Dengan meningkatnya permintaan hidrogen, kita bisa melihat bahwa sektor ini berperan penting dalam upaya dekarbonisasi global, terutama dalam sektor-sektor yang sulit untuk didekarbonisasi, seperti industri berat. Ini memberikan peluang besar bagi Indonesia yang memiliki banyak potensi sumber daya energi terbarukan, meskipun pemanfaatannya masih terbatas. Jika kita bisa memanfaatkan potensi ini, Indonesia bisa menjadi pemain utama dalam produksi hidrogen, baik untuk kebutuhan domestik maupun untuk ekspor,” katanya.