Jakarta, 19 Juli 2024 – Di tengah dominasi penggunaan batubara sebagai sumber energi utama, mendorong pemanfaatan energi terbarukan menjadi semakin krusial untuk keberlanjutan lingkungan dan keamanan energi masa depan. Menurut laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), batubara masih mendominasi bauran energi Indonesia. Pada 2023, bauran batubara dalam energi primer nasional mencapai 40,46 persen, dan minyak bumi 30,18 persen. Batubara memiliki dampak negatif signifikan terhadap lingkungan, seperti emisi gas rumah kaca yang tinggi dan polusi udara. Oleh karena itu, peralihan menuju energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan air harus diprioritaskan untuk mengurangi dampak lingkungan yang merugikan.
His Muhammad Bintang, Koordinator Riset Sumber Daya Energi dan Listrik, Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan, berdasarkan studi IESR berjudul Beyond 443 GW Indonesia’s infinite renewable energy potentials, Indonesia mempunyai total potensi teknis energi surya, angin, air, dan biomassa sebesar 7.879,43 gigawatt dan 7.308,8 gigawatt-jam untuk PHES. Sayangnya, potensi energi terbarukan tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal.
“Untuk itu, diharapkan pemerintahan selanjutnya di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto perlu meningkatkan ambisinya dalam akselerasi energi terbarukan untuk mencapai target Net Zero Emissions (NZE) 2060 atau lebih awal. Indonesia juga perlu memperlihatkan kemauan politik (political will) yang lebih kuat dan konsisten. Misalnya saja, terkait kebutuhan investasi yang perlu lebih difasilitasi oleh pemerintah,” ujar Bintang dalam Instagram Live IESR bersama Kader Hijau Muhammadiyah pada Rabu (17/7/2024).
Bintang menegaskan, terdapat dua tantangan dalam akselerasi energi terbarukan di tengah dominasi batubara. Pertama, Indonesia saat ini ketergantungan batubara untuk menghasilkan listrik. Kedua, Indonesia ketergantungan batubara dalam menghasilkan perekonomian di daerah penghasil batubara. Studi IESR berjudul Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim menemukan, dana bagi hasil (DBH) batubara menyumbang 20 persen dari total anggaran pendapatan Pemkab Muara Enim pada 2023 dan 27 persen dari total pendapatan Pemkab Paser pada 2013-2020. Namun demikian, nilai ekonomi tersebut tidak berkontribusi signifikan pada pendapatan pekerja industri batubara.
“Berkaca dari kondisi tersebut, pemerintah perlu menyiapkan transformasi ekonomi di daerah penghasil batubara. Perencanaan transformasi ekonomi pasca tambang batu bara perlu mengedepankan kegiatan-kegiatan ekonomi yang lebih banyak memberikan efek berganda ke masyarakat lokal. Selain itu, kita perlu transformasi infrastruktur kelistrikan agar lebih cocok dengan pemanfaatan energi terbarukan,” kata Bintang.
Di lain sisi, seiring isu transisi energi yang menggaung, Presiden Joko Widodo (Jokowi) justru mengeluarkan pemberian pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan. Bintang mengaku, mempertanyakan urgensi dari keluarnya aturan tersebut kepada pemerintah. Mengingat, pemerintah juga telah berkomitmen untuk mencapai NZE 2060 atau lebih awal.
“Perlu penjelasan yang lebih jelas dan konkret terkait keluarnya aturan ini agar tidak menimbulkan kecurigaan. Aturan pemberian IUP ini juga agak kontra dengan Peraturan Presiden (Pepres) No 112 Tahun 2022 tentang pengaturan percepatan pengembangan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan,” papar Bintang.
Aula Rahma N, Kader Hijau Muhammadiyah menyatakan, terkait pemberian IUP tersebut, pihaknya mempertanyakan kepada Pengurus Muhammadiyah dasarnya jika menerima penawaran IUP tersebut. Padahal, PP Aisyiyah (di bawah Muhammadiyah) ini tengah mendorong transisi energi bersih, dan pihaknya sebagai perwakilan pemuda meminta agar PP Muhammadiyah mempertimbangkan nasib mereka sebagai generasi selanjutnya yang hidup di bumi ini.
“Sebagai ormas keagamaan yang juga membawa nilai-nilai menjaga dan merawat lingkungan, Muhammadiyah perlu memperhatikan keberlanjutan lingkungan, di samping aspek perekonomian. Yang mungkin menjadi dilematis bagi ayahanda dan ibunda (Pengurus Muhammadiyah, red) bahwa pertambangan ini punya nilai ekonomis yang baik. Meski demikian, kita perlu melihat juga dampak lingkungannya,” imbuh Aula.
Tidak hanya itu, Aula menegaskan pula peran generasi muda untuk mitigasi krisis iklim seiring dengan suhu bumi yang semakin panas, dengan kampanye kreatif. Menurutnya, Kader Hijau Muhammadiyah terus aktif dan berpartisipatif untuk mengedukasi tentang energi terbarukan di sekitar lingkungan mereka tempati. Misalnya Kader Hijau Muhammadiyah Malang yang mengajak mahasiswa di wilayah tersebut untuk mengkaji dan berdiskusi tentang energi terbarukan dan bagaimana pemanfaatannya, serta keadilan energi.
“Tidak hanya edukasi tentang energi terbarukan, kami juga menggalakkan isu krisis iklim. Bahkan, memperkenalkan isu krisis iklim kepada siswa siswi di sekolah dasar sehingga mereka mengetahuinya,” ujar Aula.
Dengan krisis iklim yang dihadapi saat ini, Aula berharap agar Prabowo Subianto sebagai presiden selanjutnya juga dapat bersinergi dengan pemerintah daerah dalam akselerasi energi terbarukan. Yang artinya, dalam tataran pemerintah daerah juga perlu diperkuat komitmennya, tidak hanya jargon semata.
“Misalnya saja literasi tentang pentingnya transisi energi dan krisis iklim dimasukkan ke dalam kurikulum sehingga lebih banyak anak-anak yang mengetahui dan memahami hal tersebut. Agar ke depannya, anak-anak ini sebagai generasi masa datang dapat juga turut bertindak untuk mitigasi,” papar Aula.
transisi energi, energi terbarukan, batubara, Indonesia, Prabowo Subianto, NZE 2060, IESR