Kupang, 6 Mei 2025 – Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan segala potensi alam yang dimilikinya, kini tengah melangkah menuju masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan. Salah satu visi terbesar yang sedang digagas oleh pemerintah dan berbagai pihak terkait adalah tercapainya Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2050. Ini bukan hanya sebuah cita-cita, tetapi juga langkah nyata untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya alam dan energi terbarukan yang ada di provinsi ini guna mendukung pembangunan yang inklusif dan ramah lingkungan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan, rencana untuk mencapai NZE di NTT membutuhkan peta jalan yang jelas dan terstruktur. Untuk itu, IESR berkomitmen mendukung pemerintah Provinsi NTT dalam merancang peta jalan ini, dengan melibatkan berbagai pihak terkait. Peta jalan ini akan mencakup berbagai langkah strategis, mulai dari pengembangan infrastruktur energi terbarukan, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, hingga penciptaan kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi hijau.
“Dalam beberapa tahun ke depan, diharapkan visi ini dapat mulai diwujudkan dengan langkah-langkah konkret. Diperlukan kerja keras dan komitmen semua pihak untuk mewujudkan NTT yang lebih hijau, berkelanjutan, dan inklusif, serta menjadi contoh bagi provinsi lainnya di Indonesia dalam mencapai target NZE,” ujar Fabby dalam Lokakarya Pendalaman Visi NTT NZE 2050 pada Selasa (6/5/2025).
Alfonsus Theodorus, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Riset dan Inovasi Daerah Provinsi NTT menekankan pentingnya langkah strategis untuk memanfaatkan energi terbarukan. Sektor energi, yang saat ini merupakan salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca, harus segera ditangani agar Indonesia bisa mencapai target pengurangan emisi yang telah ditetapkan dalam kebijakan Energi Nasional dan Rencana Umum Energi Nasional.
“Kami berharap lokakarya hari ini bisa menjadi titik awal untuk kerja sama dan kolaborasi lintas sektor, baik dengan perangkat daerah di Provinsi NTT, maupun melibatkan stakeholders yang lebih luas lagi, untuk mencapai NZE di NTT pada tahun 2050,” ungkap Alfonsus.
Sherly S. Wila, Ketua Analis Aksi Mitigasi Perubahan Iklim & Sektor Energi, Pokja Perubahan Iklim NTT menyatakan Pemerintah melalui kebijakan Energi Nasional dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah menetapkan target yang ambisius, yaitu energi terbarukan akan menyumbang 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Untuk mencapai hal ini, penting bagi semua sektor, termasuk sektor energi, untuk berkolaborasi dalam mewujudkan pengurangan emisi.
“Salah satu langkah yang tengah didiskusikan dalam Rencana Usaha Penyediaan Energi Daerah (RUED) NTT 2025-2034 adalah peningkatan inklusivitas, dengan menambahkan unsur gender, disabilitas, dan inklusi sosial dalam kebijakan energi. Hal ini sangat penting mengingat banyaknya kelompok yang masih terpinggirkan, terutama perempuan, dalam akses terhadap sumber daya energi. Dengan memasukkan prinsip inklusivitas ini, diharapkan dapat menciptakan kesempatan yang lebih adil dalam mengakses energi terbarukan,” ujar Sherly.
Menurut Sherly, perempuan dan kelompok minoritas sering kali memiliki akses yang terbatas dalam pengambilan keputusan penting terkait proyek-proyek energi terbarukan. Hal ini terjadi karena rendahnya partisipasi mereka dalam pertemuan resmi dan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan energi. Mengutip Studi Gender Action Plan oleh MENTARI, beberapa isu gender yang perlu mendapat perhatian dalam pengembangan energi terbarukan skala kecil antara lain adalah kurangnya desain proyek yang inklusif, rendahnya kemampuan untuk membayar tarif energi terbarukan, dan kurangnya pedoman yang jelas mengenai gender dan inklusi dalam proyek energi.
“Namun, jika kebijakan yang inklusif dapat diimplementasikan dengan baik, perempuan dan kelompok terpinggirkan lainnya bisa memperoleh manfaat lebih besar dari sektor energi terbarukan. Misalnya, akses yang lebih besar untuk perempuan dalam kegiatan kewirausahaan atau pengembangan usaha berbasis energi terbarukan akan membuka peluang ekonomi yang lebih luas, sekaligus mengurangi ketimpangan sosial,” tegas Sherly.
Di lain sisi, Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR menuturkan pemanfaatan energi terbarukan tidak hanya berdampak pada sektor energi, tetapi juga pada sektor-sektor lain yang mendukung perekonomian. Saat ini, sektor rumah tangga mendominasi konsumsi energi di NTT, tetapi ada peluang besar untuk meningkatkan konsumsi energi di sektor komersial dan industri. Salah satunya adalah sektor pertanian dan perikanan yang dapat diberdayakan dengan menggunakan energi terbarukan, baik untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitas produksi, serta menciptakan produk unggulan yang dapat diandalkan.
“Misalnya NTT memiliki potensi besar untuk mengembangkan komoditas agro pertanian seperti kopi dan kakao, serta perikanan yang dapat dimanfaatkan lebih optimal. Energi terbarukan akan mendukung sektor-sektor ini dengan menyediakan pasokan listrik yang stabil dan murah, yang pada gilirannya akan meningkatkan daya saing daerah ini dalam perekonomian global,” kata Marlistya.
Jaya Wahono, Presiden Direktur Clean Power Indonesia mengatakan, pembangunan energi terbarukan berbasis potensi lokal, dan fleksibel menjadi kunci untuk mempercepat transisi energi di Indonesia. Membangun pembangkit yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan dapat diperbesar kapasitasnya sesuai perkembangan ekonomi adalah solusi yang harus diwujudkan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang merata.
“Tanpa akses listrik yang cukup, sulit untuk membangun sektor-sektor ekonomi lain yang vital, seperti industri, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Oleh karena itu, pembangunan sektor energi yang merata dan berkelanjutan di Indonesia, khususnya NTT harus menjadi prioritas utama,” kata Jaya.