Surakarta, 19 September 2024 – Industri merupakan salah satu kontributor utama dalam peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) global. Pada tahun 2022, sektor industri di Indonesia diperkirakan menghasilkan 430 MtCO2e emisi, meningkat 30 persen dari tahun sebelumnya. Mayoritas emisi ini, sekitar 60-70 persen, dihasilkan dari penggunaan energi yang bersumber dari pembakaran langsung dan listrik yang diproduksi menggunakan bahan bakar fosil berdasarkan studi Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024. Hal ini diungkapkan Farid Wijaya, Analis Senior Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam Diseminasi Tentang Upaya Dekarbonisasi Industri Hijau untuk Industri Kecil dan Menengah (IKM) di Surakarta, Jawa Tengah, pada Kamis (19/9/2024).
“Emisi dari proses industri dan penggunaan produk (IPPU), yang sebagian besar berasal dari industri semen, ammonia, besi, dan baja, juga turut menyumbang peningkatan emisi secara signifikan. Tanpa upaya dekarbonisasi yang serius, emisi sektor industri dapat meningkat setidaknya dua kali lipat pada tahun 2050,” ujar Farid.
Lebih lanjut, Farid mengungkapkan saat ini, ekosistem industri hijau di Indonesia mulai berkembang meski masih berada pada tahap awal. Sedikitnya 95 sertifikat industri hijau industri di berbagai sektor per tahun 2024 telah mendapatkan sertifikasi industri hijau, sementara setidaknya tiga kawasan industri hijau sedang dalam tahap pengembangan sebagai proyek percontohan.
“Peta jalan dekarbonisasi sektor industri sedang disusun dan diharapkan dapat mendorong percepatan pengembangan industri hijau. Namun, tantangan yang dihadapi cukup besar. Sekitar 60 persen dari teknologi dekarbonisasi belum tersedia secara komersial, dan hanya 35 persen yang baru berada pada tahap adopsi awal, mengutip data International Energy Agency (IEA),” papar Farid.
Untuk itu, Menurut Farid, pemerintah memiliki peran penting dalam mendukung pengembangan teknologi rendah karbon melalui regulasi, kebijakan, riset, dan pengembangan kapasitas industri. Opsi teknologi dekarbonisasi seperti efisiensi sumber daya, efisiensi energi, elektrifikasi industri, penggunaan bahan bakar rendah karbon, serta manajemen karbon dan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS/CCUS) harus segera diadopsi di sektor industri yang tentunya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing industri untuk mendorong tepat daya dan tepat guna.
“Namun demikian, tantangan dalam adopsi teknologi rendah karbon masih ada, seperti tingginya investasi awal dan terbatasnya dukungan finansial. Namun ada metode pendekatan yang bisa diimplementasikan seperti efisiensi dan konservasi energi, serta pendayagunaan limbah agar bernilai ekonomi sirkular. Selain itu, diperlukan kerja sama lintas sektor antara industri, pemerintah, dan lembaga riset untuk mempercepat transisi menuju industri hijau,” kata Farid.
Acara diseminasi upaya dekarbonisasi industri hijau ini diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) yang bekerjasama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Jawa Tengah selama dua hari pada 18-19 September 2024 dan dihadiri oleh 35 peserta yang berasal dari kalangan Industri Kecil Menengah di Surakarta, dan perwakilan pemerintah daerah.