Jakarta, 16 Mei 2023 – Peran Indonesia dalam diplomasi internasional berlanjut setelah sukses menjadi tuan rumah pertemuan G20 pada November 2022. Tahun ini, Indonesia memegang keketuaan ASEAN. ASEAN sendiri merupakan kawasan penting karena menyumbang pertumbuhan ekonomi yang cukup besar. Dalam hal pertumbuhan ekonomi, ASEAN diproyeksikan akan memiliki pertumbuhan ekonomi sebesar 4,3% menurut ADB. Tantangan yang masih ada di sekitar ASEAN saat ini adalah efek dari perubahan iklim dan transisi energi.
Negara-negara ASEAN selain Vietnam masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar fosil terutama batubara dalam sistem energinya. Dibutuhkan lebih banyak upaya serta pembiayaan untuk mengubah seluruh sistem energi di ASEAN menjadi rendah karbon dan berkelanjutan.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), saat webinar bertajuk “Making Energy Green and Low Carbon to Support Sustainable Growth” through Advancing the Role of Civil Society in Southeast Asia Energy Transition During Indonesia ASEAN Chairmanship 2023” menyebutkan bahwa semua pemangku kepentingan termasuk pemerintah dan sektor swasta perlu bekerja bahu membahu untuk memastikan transformasi menuju sistem energi bersih terjadi di ASEAN.
“Kami juga membutuhkan kolaborasi lebih lanjut di tingkat akar rumput dan peran CSO ASEAN yang semakin signifikan di kawasan dan bagaimana CSO ASEAN baik sebagai entitas individu maupun kelompok dapat berkontribusi untuk “Membuat Energi Hijau dan Rendah Karbon untuk Mendukung Pertumbuhan Berkelanjutan” melalui Memajukan Peran Masyarakat Sipil dalam Transisi Energi Asia Tenggara Selama Keketuaan Indonesia ASEAN 2023,” ujarnya.
Kemudian, Ridwan Budi Santoso, Koordinator Pokja Kerja Sama Investasi dan Ketenagalistrikan, Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM menjelaskan, keketuaan ASEAN Indonesia akan berupaya mendapatkan kesepakatan kerja sama regional termasuk interkonektivitas ketenagalistrikan yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi regional. Dia mengatakan bahwa pihaknya akan memiliki deklarasi bersama Menteri ASEAN ke-41 tentang Pertemuan Energi tentang energi berkelanjutan melalui interkonektivitas, dan pernyataan bersama untuk Proyek Integrasi Listrik Brunei Darussalam – Indonesia – Malaysia – Filipina (BIMP – PIP) sebagai penyampaiannya.
“Kami berharap perusahaan utilitas (di negara-negara tersebut-red) menandatangani MoU untuk interkonektivitas,” kata Ridwan.
Dalam agenda penetapan kebijakan, Indonesia bertujuan untuk memiliki pernyataan bersama terkait dampak perubahan iklim di kawasan.
“Selain pernyataan bersama ASEAN tentang perubahan iklim, kami juga akan memiliki kajian tentang aksi iklim berbasis komunitas ASEAN, yang berisi pembelajaran dan praktik baik untuk diterapkan di tingkat komunitas,” Wisnu Murti, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Hutan dan Lingkungan dijelaskan.
Menanggapi pemaparan Indonesia sebagai ketua ASEAN tahun ini, Antony Tan, Executive Officer All Party Parliamentary Group Malaysia on Sustainable Development Goals (APPGM-SDGs), menyoroti kehadiran ASEAN di komunitas internasional masih kurang. Sedikit berbeda dengan, misalnya, Uni Eropa yang memiliki kehadiran khusus dalam pertemuan-pertemuan internasional.
“Kita lihat itu misalnya saat COP 27 lalu. Kita (ASEAN) duduk terpisah-pisah dan bersama-sama hanya saat pembahasan loss and damage,” imbuhnya.
Terkait pengembangan energi terbarukan di Malaysia, Antony mengatakan saat ini Malaysia fokus pada PLTS dan hydro power. Malaysia bertujuan untuk meningkatkan pangsa energi terbarukannya, tidak termasuk tenaga air hingga 20% dari bauran energi pada tahun 2025.
“Kami mencabut larangan ekspor energi terbarukan. Langkah ini disambut baik oleh Singapura, karena akan menguntungkan negara tetangga dan mendorong sektor energi terbarukan lokal,” pungkasnya.
Ketua ASEAN sebelumnya, Kamboja menghadapi berbagai tantangan untuk membawa dekarbonisasi ke negara tersebut. Dalam mengatasi tantangan tersebut, lembaga swadaya masyarakat berperan sebagai jembatan untuk memperjelas visi dalam mempercepat transisi energi.
“Ketika kita berbicara tentang dekarbonisasi, itu berarti kita perlu berbicara tentang reformasi pasar energi seperti apa, pendukung apa yang dapat diimplementasikan, dan kita perlu memahami bahwa konteks antara satu tempat dan tempat lain sangat berbeda dan kita perlu mencari jalan keluarnya. pendekatan yang berbeda,” jelas Direktur Eksekutif Energy Lab, Kamboja, Natharoun Ngo Son.
Chariya Senpong, Ketua Tim Transisi Energi, Greenpeace Thailand menyoroti peran menjadi “jembatan” bagi banyak pemangku kepentingan. Organisasi masyarakat sipil harus memberdayakan masyarakat untuk mampu bergerak melampaui tingkat lintas batas.
“Penting untuk mengkomunikasikan isu terkait iklim tidak hanya kepada masyarakat tetapi juga kepada pemerintah, terutama di tingkat ASEAN. Tentang bagaimana kita bisa mendapatkan perubahan kebijakan yang cepat untuk mencapai tingkat emisi nol bersih. OMS juga perlu bekerja di berbagai tingkat advokasi untuk mempengaruhi dan menggerakkan para pemangku kepentingan ke jalur yang lebih berkelanjutan,” jelasnya.
Aryanne De Ocampo, Advocacy, Networking, and Communications Officer, Center for Energy, Ecology and Development menambahkan bahwa ASEAN memiliki kekuatan untuk mendorong dekarbonisasi secara global.
“Sebagai ASEAN, kita harus menjadi yang terdepan dalam menuntut perubahan dari pemerintah dan industri untuk berkomitmen pada target iklim yang ambisius. Agar ASEAN memiliki identitasnya, ia juga perlu mewakili bagian masyarakat yang paling rentan, mulai dari komitmen iklimnya.”
Setiap tahun ASEAN mengeluarkan ratusan pernyataan bersama dan ASEAN perlu memastikan bahwa pernyataan terkait perubahan iklim itu terwujud. Hal ini dikemukakan oleh Esther Tamara, Direktur Unit Iklim, Komunitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia.
“ASEAN perlu memastikan bahwa pernyataan bersama terkait perubahan iklim tidak hanya sebatas pernyataan. Visi ASEAN pasca-2025 harus fokus pada iklim untuk menciptakan dunia yang hijau. Ada juga kata-kata dari pemerintah Kamboja khususnya untuk membuat Green Deal, tapi belum banyak gerakan ke arah itu,” ujarnya.
Esther menambahkan, seharusnya ada mekanisme resmi organisasi masyarakat sipil yang memungkinkan terjadinya diskusi dari bawah ke atas di ASEAN.