Indonesia telah memiliki komitmen iklim untuk melakukan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sesuai Paris Agreement dan tertuang dalam NDC (nationally determined contribution). Perencanaan nasional yang selaras dengan komitmen tersebut juga telah disusun Bappenas melalui strategi pembangunan rendah karbon (low-carbon development initiative) yang diluncurkan pada 2019 lalu. Untuk menggali peran pemerintah nasional dan daerah untuk mendorong perencanaan energi berorientasi iklim yang lebih ambisius, pada 13 Mei 2020, IESR bersama ICLEI Indonesia mengadakan diskusi panel dengan mengundang delapan narasumber yang memiliki peran strategis di sektor publik.
Kedelapan narasumber yang diundang adalah Sugeng Mujiyanto, Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan, Dewan Energi Nasional; Yulia Suryanti dari Sub-Direktorat Pemantauan Pelaksanaan Mitigasi, KLHK mewakili Ruandha Agung S. selaku Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, KLHK; Niken Arumdati, Kepala Seksi Pengembangan EBT, Dinas ESDM, Pemprov NTB; Ida Bagus Setiawan, Kepala Seksi Ketenagalistrikan, Dinas Ketenagakerjaan dan ESDM Pemprov Bali; Sherly Sicilia Wila Huky, Kepala Sub-Bidang Pertanian dan SDA, Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Pemprov NTT; Retno Gumilang Dewi, Kepala Pusat Kebijakan Keenergian, ITB; Saladin Islami, Project Officer 100% RE, ICLEI Indonesia dan Erina Mursanti, Manajer Program Ekonomi Hijau, IESR.
Dalam sambutannya, Ari Mochamad, Direktur Eksekutif ICLEI Indonesia menyampaikan bahwa pandemi Covid-19 memicu turunnya emisi karbondioksida global dan di Indonesia. Hal ini menjadi sebuah momentum besar bagi Indonesia untuk memprioritaskan energi bersih dalam pemulihan ekonomi. Ari berharap bahwa diskusi panel ini bisa memberikan pencerahan dan terobosan dalam memasuki masa new normal dalam setiap aspek, khususnya aspek pemanfaatan penggunaan energi dalam kehidupan sehari-hari.
Di sesi pertama, Sugeng Mujiyanto menjelaskan bahwa visi pengelolaan energi saat ini telah berubah ke pengelolaan energi yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan dengan memprioritaskan pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi dalam rangka mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi nasional. Visi tersebut tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional dan Rencana Umum Energi Nasional, yang juga menargetkan penurunan emisi hingga 41% pada 2030 dan 58% pada tahun 2050. Menurut Sugeng, pencapaian yang diperoleh Indonesia atas upaya mitigasi emisi sektor energi pada tahun 2019 patut diapresiasi. Dalam aspek efisiensi energi, Indonesia sudah lebih efisien hingga 25%, penggunaan bahan bakar rendah kalori sebesar 14%, penggunaan teknologi pembangkit bersih sebesar 7%, juga mampu menurunkan emisi CO2 sebesar 54.852.260 ton.
Pencapaian lain yang dialami oleh Indonesia juga diutarakan oleh Yulia Suryanti. Pada tahun 2018, capaian penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sektor energi mencapai sekitar 8,3 juta ton CO2eq. Yulia Susanti menambahkan contoh aksi nyata untuk mitigasi skala nasional, di antaranya adalah pemanfaatan biogas skala kecil, penyediaan dan pengelolaan EBT pada pembangkit listrik skala kecil, penggunaan tenaga surya di sektor publik, rumah tangga dan penerangan jalan umum, serta inisiatif green building di kota.
Erina Mursanti menjelaskan bahwa Indonesia berpotensi mengalami kelangkaan air, kekeringan yang parah, cuaca yang terik dan bencana-bencana lain seperti kebakaran lahan dan hutan. Hal ini karena dipengaruhi oleh perubahan iklim yang sebenarnya juga berkaitan dengan bencana alam yang terjadi. Menurut analisa Climate Action Tracker, target NDC Indonesia yang berada dalam dokumen NDC itu masih dalam skenario kenaikan temperatur 3°C, di mana harusnya Indonesia berada pada jalur kompatibel 1,5°C. Indonesia memiliki potensi banjir lima kali lipat lebih parang dan lebih sering pada kenaikan temperatur 3°C dibanding 1,5°C.
Erina Mursanti juga mengingatkan bahwa Indonesia memiliki instrumen konkret yang jika dioptimalkan akan mampu menurunkan emisi. Potensi mitigasi yang bisa dioptimalkan yaitu moratorium PLTU baru dan penonaktifan PLTU berdasarkan usia operasi, penggantian pembangkit listrik termal dengan pembangkit energi terbarukan, peningkatan bauran energi terbarukan secara optimal di sistem ketenagalistrikan Jawa-Bali dan Sumatera tanpa mengurangi keandalan sistem, peningkatan fuel economy pada kendaraan bermotor (mobil dan motor) sesuai dengan standar GFEI, peningkatan pemanfaatan electric vehicle (EV), serta peningkatan efisiensi energi dari penerangan dan peralatan rumah tangga.
Upaya penurunan emisi yang terintegrasi dalam perencanaan energi juga sudah dilakukan dalam skala lokal. Dalam sesi kedua, perwakilan dari pemerintah daerah memaparkan peran daerah dan kontribusi mereka untuk pencapaian target iklim yang lebih ambisius. Niken Arumdati mengatakan bahwa Pemda NTB sudah mengenali pembangunan berkelanjutan dan mengimplementasikannya dalam berbagai kebijakan yang dibuat. Dalam pelaksanaannya, menurut Niken, Pemda NTB masih menemui sejumlah tantangan seperti harmonisasi RUED-P dengan dokumen lainnya, konsistensi perencanaan, pengimplementasian program sesuai dengan kemampuan fiskal daerah dan momentum politik.
Niken menjelaskan juga Pemda NTB sudah membentuk tim koordinasi lintas instansi dalam implementasi RUED-P, menyusun rencana detail implementasi RUED-P, dan harmonisasi dengan dokumentasi perencanaan yang lain, menjalin kerjasama dengan Pemerintah Kerajaan Denmark, membuat studi detail perencanaan energi, dan mengupayakan pendanaan selain dari APBN dan APBD.
Ida Bagus Setiawan dari Pemda Bali menjelaskan bahwa saat ini RUED Bali masih diproses di badan legislatif. Di sisi lain, Gubernur Bali telah mengeluarkan peraturan Gubernur Bali Energi Bersih dan pengembangan kendaraan listrik, untuk mempercepat implementasi visi Bali sebagai daerah berwawasan berkelanjutan. Gubernur Bali juga menugaskan dinas terkait untuk melakukan percepatan penyiapan dokumen RUKD Bali 2019-2039 untuk memenuhi cita-cita mandiri energi dengan mendorong energi bersih dan menurunkan emisi. Pemda Bali sendiri sudah menghentikan pembangunan pembangkit baru yang tidak berbasis energi bersih di Bali.
Lain halnya dengan Pemda Bali, Pemda NTT sudah memiliki RUED yang diproses sejak 2017 dan telah diresmikan dengan perda pada 2019. Sherly Sicilia Wila Huky menyatakan bahwa Pemda NTT memiliki cukup banyak tantangan untuk perencanaan energi yang berorientasi iklim, di antaranya tingkat ketergantungan energi fosil yang masih tinggi, akses dan infrastruktur energi terbatas, belum adanya regulasi yang mengatur pengelolaan energi, pengelolaan potensi EBT yang belum optimal, dan keterbatasan sumber daya untuk melakukan riset dan inovasi. Pemda NTT sendiri memiliki target pemanfaatan EBT 24% pada tahun 2025 dan 39% pada tahun 2050, dengan menjalankan beberapa strategi: meningkatkan eksplorasi pemanfaatan EBT sebagai energi alternatif, penguatan kelembagaan lokal dengan mengaktifkan BUMDes (badan usaha milik desa) sebagai lembaga yang mengelola pemanfaatan EBT di tingkat desa, kebijakan konservasi energi, dan kolaborasi pembangunan energi.
Retno Gumilang Dewi dari ITB melihat bahwa dalam masa pandemi Covid-19, anggaran pembangunan banyak difokuskan untuk menanggulangi dampaknya. Meski demikian, pembatasan aktivitas dan mobilitas selama pandemi juga berkontribusi pada penurunan emisi karbon. Dalam sektor transportasi misalnya, konsumsi BBM menurun secara signifikan. Menurut Retno Gumilang Dewi, ada 3 pilar dekarbonisasi, yakni energi efisiensi, renewable energy, clean power, dan fuel switching. Retno memberikan usulan kepada pemda untuk membangun smart micro-grid (dalam ukuran kecil) daripada menunggu pembangunan grid besar terpusat. Smart micro-grid dapat digunakan untuk 100% energi terbarukan, seperti biofuel, dengan investasi pengembangan yang murah. Menurut Retno, penggunaan bahan bakar nabati juga perlu dipertimbangkan karena target EBT 23% di 2025 juga mencakup BBN.
Saladin Islami dari ICLEI Indonesia mengapresiasi 16 provinsi yang sudah memiliki RUED (Rencana Umum Energi Daerah). Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar dengan keunikan tiap-tiap daerah, namun sayangnya kapasitas terpasang pembangkit EBT masih rendah dan didominasi oleh PLTA dan PLTP dengan tingkat teknologi yang cukup matang. Saladin memaparkan tantangan utama pengembangan energi terbarukan, yakni finansial, teknis, dan kebijakan. Isu finansial menjadi isu yang dominan dalam pengembangan EBT di Indonesia, termasuk di dalamnya pasar, tarif, dan biaya. Tarif berkaitan dengan power purchase agreement dan biaya pokok penyediaan energi, sedangkan biaya energi menjadi tantangan karena perlu mempertimbangkan affordability dari berbagai lapisan masyarakat. Dari segi kebijakan, banyak pemerintah daerah kesulitan menerjemahkan strategi prioritas dalam program pembangunan karena kebijakan yang sering berganti-ganti. Sumber daya manusia di daerah juga menjadi tantangan pengembangkan EBT, termasuk di dalamnya kesiapan teknis dan strategi keberlanjutan.
Menurut Saladin, pemerintah harus membuat rencana strategi yang terarah, dengan melakukan inventarisasi data energi dan emisi GRK, menyesuaikan pemanfaatan energi terbarukan dan kegiatan konservasi energi dengan prioritas pembangunan daerah, misalnya pemanfaatan sektor pariwisata, pertambangan, dan remote area, memprioritaskan pemanfaatan energi terbarukan dengan memanfaatkan potensi daerah sesuai kearifan lokal seperti pemanfaatan sampah rumah tangga dan biogas khususnya di daerah peternakan, serta melibatkan lembaga pendidikan di daerah untuk melakukan penelitian dan pelatihan dalam bidang energi terbarukan, konservasi energi dan perubahan iklim. Selain itu, pemerintah juga perlu menciptakan kader-kader baru untuk membangun daerahnya masing-masing.
Rekaman diskusi ini dapat disaksikan melalui tautan berikut: